Sumbarmadani.com– Mendengar kata Baundi, yang terbayang di benak kita adalah memutar seperangkat alat untuk menentukan siapa pemenang yang berhak memperoleh hadiah atau sesuatu yang berharga.
Di Nagari Pandai Sikek, seorang wanita yang telah berada di usia matang dengan tanda-tanda layak untuk bersuami (randa) selalu menjadi beban bagi pihak keluarga. Hal ini menimbulkan kecemasan dan rasa takut jika anak perempuan tersebut tidak kunjung mendapatkan suami, lebih-lebih lagi bagi anak perempuan yang saulah atau tidak pandai bergaul untuk memikat hati laki-laki.
Rasa kecemasan ini mula-mula muncul dari pihak keluarga (ayah atau ibu) yang melihat perkembangan anak perempuannya yang sudah menunjukkan tanda-tanda dewasa dan layak dicarikan suami. Perbincangan kemudian dilanjutkan kepada para mamak (pihak laki-laki di kaum) hingga menjadi perbincangan kaum.
Tujuan dari baundi adalah memberikan informasi pada masyarakat bahwa wanita tersebut sudah dewasa. Selain itu, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, maka pihak mamak dan sumando berkumpul mencari etongan (kata sepakat) bahwa anak perempuan tersebut harus diperundikan. Acara ini dihadiri oleh seluruh mamak, sumando, dan sumandan di bawah panggilan Ninik Mamak Kepala Kaum. Setelah ditentukan harinya, Kepala Kaum memerintahkan anak kemenakan untuk mamanggie (memanggil) seluruh kerabat dan bako (kaum ayah) dari anak perempuan itu.
Pada hakikatnya, baundi adalah baretong bakato-kato, yaitu mencari perhitungan atau membicarakan langkah untuk membantu melangsungkan perjodohan anak perempuan yang sudah layak menikah atau berstatus randa.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan setelah duduk bersama, pihak sumando dan bako menyampaikan dalam kata-kata adat bahwa anak gadisnya sudah besar dan dewasa, ibarat kacang sudah pantas dicarikan junjungannya, ibarat sisih sudah pantas dicarikan gagangnya, maka wanita tersebut sudah pantas pula dicarikan suami.
Pihak mamak kemudian menjawab kata-kata sumando dan bako dengan menyepakati bahwa kemenakannya sudah besar dan pantas untuk dicarikan calon suami. Setelah itu, pihak mamak, sumando, dan bako saling mengusulkan nama-nama lelaki yang dianggap cocok dengan berbagai pertimbangan.
Setelah terkumpul sejumlah nama dalam bilangan ganjil (5, 7, atau 9 orang), maka lelaki-lelaki inilah yang direkomendasikan untuk dipinang (tanyoi) sebagai calon sumando. Namun, jika ada lelaki yang datang menawarkan diri di luar nama yang ditetapkan dan setelah dipertimbangkan serta mendapat persetujuan dari Ninik Mamak Kepala Kaum, maka ia juga dapat diterima.
Langkah berikutnya adalah mananyoi atau meminang satu per satu nama yang telah direkomendasikan dalam acara baundi.
Baundi memiliki manfaat yang besar bagi anak nagari Pandai Sikek. Bagi keluarga wanita, hal ini menumbuhkan rasa tanggung jawab kebersamaan sesuai ungkapan “dianak sa anak, dikamanakan sa kamanakan.” Bagi anak perempuan, ia merasakan bahwa dirinya tidak hidup sendirian, melainkan berada dalam lingkungan yang saling memperhatikan dengan tanggung jawab masing-masing, termasuk dalam mencarikan jodoh.
Bagi laki-laki yang namanya masuk dalam undian, ia merasa dirinya sudah dewasa dan diperhitungkan. Hal ini membuatnya mengubah pola hidup dengan menjaga akhlak, pergaulan, dan menjalani hidup lebih terarah. Sedangkan bagi laki-laki yang belum masuk dalam undian, ia akan merasa ada kekurangan dalam dirinya, mungkin karena hidupnya belum dianggap mampu bertanggung jawab, masih *luntang-lantung*, dan sebagainya. Dari sinilah ia mulai mempersiapkan dirinya.
Bagi kaum atau suku, baundi menjadi ajang untuk mengkaji apakah calon suami tersebut satu suku, berbeda suku, atau terdapat larangan adat untuk menikah. Dalam Islam, dianjurkan agar calon suami berasal dari keluarga atau suku yang tidak memiliki pertalian dekat. Rasulullah bersabda: “Pilihlah tempat meletakkan nutfahmu, karena urat-urat itu akan bercampur.” Artinya, gen akan bercampur baur.
Tulisan ini diharapkan bermanfaat untuk menjawab pertanyaan seputar adat Pandai Sikek yang masih kental hingga kini (YF).
Profil Penulis
Penulis, Drs. Damsir Datuk Maharajo Nan Salareh, adalah seorang penghulu (datuak) dan pernah memimpin masyarakat serta mengetuai berbagai organisasi, antara lain: Kepala Desa Kototinggi Pandai Sikek (1995–1997), Ketua Koperasi Pertanian Pinang Baririk Kototinggi (1998), Ketua Kerapatan Adat Nagari Pandai Sikek (2006–2013), serta Anggota BPRN Pandai Sikek (2017–2022).
Sebagai lulusan MTI Koto Tinggi, beliau juga aktif dalam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) Kabupaten Tanah Datar dan Kota Padang Panjang. Pernah menjadi pendiri/pengurus Yayasan Tarbiyah Islamiyah Kototinggi sejak 1998 hingga sekarang, Wakil Ketua Perti Cabang Tanah Datar (2018–2024), Sekretaris Perti Cabang Tanah Datar (2024–2025), serta Ketua Cabang Perti Padang Panjang (2025–2030).
Dalam organisasi profesi, beliau merupakan anggota Forum Komunikasi Kepala MA se-Sumatera Barat sejak 2011, Wakil Ketua Forum Komunikasi Kepala Madrasah Swasta se-Tanah Datar (2018–sekarang), serta Ketua Forum Komunikasi Pimpinan Pondok Pesantren Tanah Datar (2023–sekarang).