Sumbarmadani.com- Hukum Acara Pidana Indonesia tidak saja memperhatikan hak-hak dari pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa) saja, tetapi juga memperhatikan hak-hak dari korban atau orang yang menderita kerugian yang disebabkan oleh suatu tindak pidana. Dengan kata lain korban tindak pidana juga perlu mendapat perhatian dan perlindungan yang merupakan bagian dari hak asasi dari setiap manusia.
Hukum acara pidana Indonesia, meskipun masih sangat minimalis mengakomodir kepentingan korban, memberikan ruang hukum bagi korban tindak pidana untuk berpartisipasi guna menuntut keadilan akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku melalui mekanisme “Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana” merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap hak dari korban suatu tindak pidana.
Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Jika suatu Perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka Hakim ketua sidang atas permintaan orang tersebut dapat menetapkan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana”. Selanjutnya Pengajuan Gugatan ganti kerugian diatur lebih lanjut dalam Pasal 99-101 KUHAP.
Gugatan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana digabungkan atau diperiksa dan diputus sekaligus bersamaan pada pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa dalam bentuk satu putusan.
Berkaitan dengan kasus yang dialami klien kami, gugatan ganti kerugian yang kami ajukan murni didasarkan atas tuntutan keadilan dan kepastian hukum yang harus ditegakkan. Perlu digaris bawahi, kasus yang dialami oleh klien kami dalam proses penanganannya di penyidikan dan penuntutan cenderung memberikan “impunitas” terhadap pelaku dan menafikan keadaan korban tindak pidana.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal; Pertama, Dalam proses penyidikan, alat bukti surat berupa visum et repertum yang dikeluarkan oleh RS Pemerintah yang menyatakan telah terjadi patah (kerusakan parah) pada dua ruas tulang leher korban tidak dimasukkan secara utuh dalam berkas perkara.
Kedua, belum semua pelaku tindak pidana penganiayaan berat ini diproses secara hukum. Ketiga, dalam proses penuntutan, muncul “akta perdamaian” antara korban dan pelaku, yang sesungguhnya tidak pernah ada. Menjadi tidak mengherankan apabila dalam kasus ini JPU membuat dakwaan secara alternatif.
Dari perspektif korban, hal-hal ini jelas menunjukkan terjadinya “Malicious Prosecution” atau penuntutan yang jahat. Jahat karena korban yang sudah menjadi korban tindak pidana juga diabaikan hak-haknya oleh Jaksa Penuntut Umum.
Pada saat kuasa hukum korban kasus Pidana No.93/PID.B/2022/PN LBS mengajukan Gugatan Ganti Kerugian, Hakim Ketua Majelis yang menyidangkan Perkara tersebut menyarankan kepada jaksa penuntut umum agar mengakomodir gugatan tersebut, tetapi jaksa penuntut umum menolak, dengan alasan Petunjuk dari atasan, karena Jaksa Penuntut Umum menolak, akhirnya Gugatan Ganti Kerugian langsung dibacakan Oleh Kuasa Hukum Korban kasus Tindak Pidana No.93/PID.B/2022/PN LBS di depan Persidangan pada tanggal 3 Januari 2023.
Sidang dilanjutkan pada hari ini senin tgl 9 januari 2023 dengan agenda jawaban dr terdakwa/tergugat, setelah diskor beberapa saat, Majelis Hakim menetapkan Permohonan Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian dinyatakan dikabulkan dan sidang dilanjutkan dengan Pemeriksaan Alat Bukti.
Kita selaku kuasa hukum korban kasus tindak pidana perkara No. 93/Pid.B/2022/PN.Lbs berharap dan sangat optimis bahwa Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini akan menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana mestinya, baik itu terhadap pelaku, maupun terhadap korban. Karena itulah esensi dari “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Azn)