Sumbarmadani.com- Di tengah upaya pemerintah dalam mengembangkan investasi dan ekonomi seringkali menimbulkan Konflik Agraria di berbagai wilayah di Indonesia, tidak terkecuali Sumatera Barat. Mulai dari konflik yang berujung kriminalisasi di Kabupaten Pasaman Barat tepatnya di Nagari Air Bangis hingga yang terbaru dugaan korupsi penggunaan lahan hutan negara tanpa izin di Kabupaten Solok Selatan.
Bupati Solok Selatan, Khairunas bersama kelompok tani yang dikelola adik iparnya dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Kejati Sumbar) terkait penggunaan lahan negara dengan menanam sawit seluas 650 hektar di daerah itu tanpa mengantongi Hak Guna Usaha (HGU).
Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Sumbar, Hadiman mengatakan kasus itu berawal dari adanya laporan masyarakat pada Maret 2024 lalu. Dalam laporan itu disebutkan ada sekitar 650 hektar lahan hutan negara di Solok Selatan yang ditanami pohon sawit sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara. Kemudian pada 18 April 2024 lalu, Kejati Sumbar mengeluarkan Surat Perintah Penyelidikan terhadap dugaan itu.
Khairunas memenuhi panggilan penyidik Kejati Sumbar pada rabu 8 Mei 2024 (kemarin) sekitar pukul 10.00 WIB. Dua jam setelah itu, Khairunas keluar dari gedung Kejati Sumbar. Saat ditanya wartawan, Khairunas mengelak dan tidak memberikan jawaban. “Tanya aja sama penyidik ya,” kata Khairunas sambil berjalan masuk ke mobilnya.
Menurut Hadiman, jika ada keterangan yang perlu diminta lagi, Jaksa kembali akan meminta keterangan Khairunas. Selain Khairunas, juga diminta keterangan dari dua saksi lainnya yaitu seorang wali nagari dan pejabat salah satu Organisasi Perangkat Daerah (OPD). “Tadi ada 25 pertanyaan yang kami ajukan kepada Bupati Solok Selatan. Pemeriksaan nya mulai dari pukul 10.00 hingga 12.00 WIB. Total sudah 16 saksi yang dimintai keterangan. Selain Bupati juga ada Sekda, OPD, adik ipar Bupati dan kelompok tani,” kata Hadiman seperti dikutip dari Kompas.com.
Ketua Umum PD Pemuda PERTI Solok Selatan, Arif Jum’atul Ihsan menuturkan pengoperasian perusahaan atau kelompok tani tanpa mengantongi HGU seringkali memicu konflik dengan masyarakat, terlebih daerah Solok Selatan yang sangat bergantung pada sektor Pertanian dan Perkebunan. Menurutnya, bukti-bukti yang mengindikasikan pelanggaran hukum yang serius oleh Bupati Solok Selatan memang belum diketahui pasti, namun jika terbukti benar telah terjadi pelanggaran, ada beberapa frasa hukum yang diduga dilanggar.
“Yang pertama tentunya Pasal Penyalahgunaan Wewenang, karena Bupati diduga menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu dengan merugikan kepentingan negara atau masyarakat. Kedua, Pasal Pencucian Uang, karena diduga terjadi upaya menyamarkan asal-usul dana yang diperoleh secara tidak sah dari pengalihan lahan negara. Terakhir, Pasal Pemberian Suap, kemungkinan adanya penerimaan suap atau gratifikasi dalam proses pengalihan dan pemanfaatan lahan negara,” ujar Arif.
Kasus ini memperlihatkan perlunya penegakan hukum yang tegas terhadap korupsi di semua tingkatan. Semua pihak harus bekerja sama untuk membersihkan sistem dan menjaga integritas pemerintahan. “Kami meminta penegak hukum, secara adil dan transparan dalam mengusut kasus dugaan korupsi tidak hanya di Solok Selatan namun di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada yang dikecualikan dari proses hukum. Kami menuntut kejelasan dan keadilan dalam penanganan kasus ini. Tidak boleh ada tempat bagi korupsi di pemerintahan, terutama yang merugikan kepentingan publik.” Tutupnya. (AJI)