Sumbarmadani.com – Birokrasi merupakan mesin penggerak negara yang didalamnya berisi orang-orang atau pejabat yang digaji dan dipekerjakan oleh negara untuk mengeksekusi kebijakan politik negara. Birokrasi sering disebut sebagai badan pemerintah atau dalam konsepsi bahasa Inggris disebut public sector, atau public administration yang mencakup institusi yang penghasilannya berasal secara langsung atau tidak langsung dari uang rakyat yang biasanya tercantum dalam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).
Seperti uraian di atas, birokrasi dimaksudkan sebagai kekuasaan yang dipegang oleh orang-orang yang berada di belakang meja dan prosesnya diatur secara legal dan formal oleh para birokrat. Mengutip dari Max Weber (1984) paradigma birokrasi menerapkan prinsip satu perintah didasarkan pada “satu anak tangga ke bawah”. Artinya, setiap pimpinan memberikan perintah hanya kepada para bawahannya langsung. Begitulah konsepsi normatif birokrasi. Banyak ahli yang menerangkan perihal birokrasi ini salah satunya dikemukakan oleh seorang filsuf jerman era industrialisasi, Karl Marx.
Pemikiran Marx terkait birokrasi adalah kritikannya atas optimisme idealis dari normatif birokrasi. Karl Marx mengatakan birokrasi adalah organisasi yang bersifat eksploitatif. Birokrasi menjadi instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mengeksploitasi kelas sosial yang lain/ yang dikuasai. Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan privilege dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis. Dalam perspektif Marx yang bertolak belakang dengan Hegel dan Weber, birokrasi merupakan sistem yang diciptakan oleh kalangan atas atau penguasa (the have) untuk memperdayai kalangan bawah (the have not) demi meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.
Birokrasi juga menjadi entitas yang berperan cukup penting dalam proses alienasi, suatu konsep yang dipopulerkan oleh Marx yang menggambarkan kondisi terasingnya manusia dari dirinya sendiri dan dari lingkungan sosial. Demikian pula yang terjadi dengan operasi kerja birokrasi di dunia modren, Birokrasi menjadi kekuatan penguasa.
Dalam istilah Marx, birokrasi adalah “lingkaran ajaib yang tak seorang pun dapat keluar darinya”. Birokrasi lalu menjadi kekuatan yang opresif yang dirasakan oleh mayoritas rakyat sebagai kekuatan yang misterius. Disebut demikian dikarenakan disatu pihak birokrasi berbuat baik mengatur kehidupan rakyat akan tetapi dipihak lain kekuatan itu diluar jangkauan rakyat untuk bisa mengontrolnya. Alienasi birokrasi tidak hanya terjadi antara birokrat dengan publik, tapi juga ditemukan di dalam lingkup birokrasi itu sendiri. Parahnya menurut Marx, seringkali para birokrat tidak menyadari hakikat parasit dari pekerjaan mereka. Mereka berpikir bahwa mereka sedang berkontribusi untuk kepentingan umum, padahal di dalamnya hanya hierarki yang kaku dan pemujaan terhadap otoritas.
Dalam konteks pemerintahan Indonesia dan konsekuensi dari reformasi dimana terbukanya kebebasan yang memunculkan euphoria oleh kekuatan politik, akibatnya kekuatan politik tersebut saling berlomba untuk mendapatkan pos-pos strategis di lingkungan birokrasi pemerintahan. Ini menunjukkan kedudukan birokrasi terhadap kekuatan politik tidak lagi bisa dikatakan netral. Realitas ini menunjukkan terjadinya gejala proses politisasi dalam birokrasi. Kepentingan-kepentingan penguasa mengintervensi organisasi birokrasi pemerintahan nyata terlihat seperti birokrat yang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah, menjadi peserta kampanye dengan atribut partai, membuat keputusan yang menguntungkan satu golongan, serta menggunakan fasilitas yang terkait dengan kepentingan politis.
Lalu apa saja implikasi yang terjadi akibat dari gejala politisasi birokrasi di Indonesia. menurut Mahrus Irsam akibat dari terpolitisasinya birokrasi pertama, birokrasi dijadikan sasaran basis partai politik. Kedua, membuat proses profesionalisasi di dalam birokrasi terhambat. Fenomena-fenomena umum politisasi birokrasi yang sering kita jumpai dalam penerapannya di Indonesia yaitu berupa:
- Penggunaan fasilitas negara menjelang pemilihan umum
- Memobilisasi PNS pada saat pilkada
- Kompensasi jabatan di tingkat pusat
- Adanya komersialisasi jabatan
Tampak jelaslah indikasi-indikasi secara empirik birokrasi Indonesia menuju proses alienasi yang diucapkan Marx. Ruang-ruang publik kini semakin sulit menyentuh pusat kekuasaan padahal sejatinya birokrasi menjunjung tinggi nilai demokrasi. Birokrasi harus kembali ke fitrahnya sebagai pelayanan masyarakat serta tidak bias oleh godaan politik dan kekuasaan. Untuk itu dikutip dari Ida Hayu Dwimawanti, diperlukan setidaknya tiga pilar utama penopang birokrasi yang ideal yakni, organisasi yang profesional, tata laksana yang efektif, serta sumber daya manusia yang optimal.
==========================================================
Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas