Sumbarmadani.com-“Kita harus lihat ke dalam. Sudah banyak kegiatan ke-Perti-an yang kita lupakan. Ada tiga titipan pendiri Perti, yaitu pendidikan, dakwah, dan sosial; itu kita abaikan.” Demikian di antara pernyataan Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Buya Syarfi Hutauruk, dalam pidato sambutannya untuk peringatan milad Perti ke-96, Minggu 05 Mei 2024.
Pidato sang ketua umum ini menarik, karena biasanya pidato-pidato sambutan dalam acara milad atau seremonial Perti lainnya cenderung berisi cerita-cerita heroik nan mengagumkan tentang kehebatan Perti di masa lalu; atau cerita tentang ratusan pesantren/madrasah Perti yang tersebar di berbagai penjuru, pun di masa lalu. Namun, kali ini, sang Ketum berupaya meletakkan narasi masa lalu itu sejenak agar ia tidak sekadar menjadi “barang antik” sejarah untuk sekadar digosok-gosok dan dipamerkan.
Buya Syarfi berterus terang menyatakan di depan publik bahwa organisasi yang sedang dipimpinnya ini sedang dirundung nestapa, dan kenestapaan itu berakar dari kealpaan. Berulang kali ia mengeluarkan istilah, kata, atau frasa yang menunjukkan kealpaan tersebut: “kita lupakan”, “kita abaikan”, “terlupakan”, “belum sempat kita lakukan”, “tidak semuanya tercatat”, “tidak bisa”, “tidak mampu”, dan ungkapan sejenis lainnya.
Keberterusterangan dari pucuk pimpinan seperti ini adalah sebuah langkah yang sangat positif, karena hal itu menunjukkan bahwa organisasi ini mulai memahami dari titik mana harus berangkat dan ke mana akan melangkah. “Lebih baik jujur mengaku miskin daripada berpura-pura kaya”, kata sebuah meme yang sering terpampang di media sosial. Quote di meme itu terkesan agak slengean tapi ada benarnya, dan sepertinya cukup relevan untuk bahan refleksi dalam konteks mengurus organisasi.
Bahkan, ini lebih dari sekadar keberterusterangan. Pidato sang ketua umum tersebut menunjukkan adanya kesesuaian antara fakta di akar rumput dengan pembicaraan di tingkat paling atas di tubuh Perti. Jika kita amati langsung atau dengar suara dari akar rumput Perti, seperti pesantren-pesantren, MTI, jamaah surau, atau warga Perti di daerah-daerah, maka sebagian (besar) akan kita dapati suara bernada kerisauan: pesantren/madrasah yang kekurangan bangku, dindingnya yang masih papan, ruang asrama yang tidak layak, guru-guru yang harus berjuang ekstra untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, orang tua yang kewalahan membayar SPP anak, dan dalam setahun terakhir setidaknya ada dua MTI di Sumatera Barat yang terkena musibah longsor (di Kabupaten Pesisir Selatan) dan kebakaran (Di Kabupaten Agam).
Itu baru dari aspek fisik, belum lagi segi non-fisik: munculnya penceramah “ugal-ugalan” yang suka membid’ah-bid’ahkan amalan jamaah Perti, surau-surau yang kehilangan guru, masjid-masjid yang tak punya imam yang layak atau sekadar muazzin, jumlah peminat judi online yang mengalahkan jamaah pengajian, tradisi muzakarah dan berdebat kaji yang semakin menghilang, bagaimana mengharmonikan kurikulum nasional dan kurikulum pesantren, dan seterusnya.
Suara-suara bernada kerisauan sekaligus penuh harapan dari pesantren/madrasah dan jamaah itu setidaknya mulai disuarakan oleh Ketua Umum di hadapan publik, di forum resmi milad Perti, disaksikan pengurus pusat dan daerah-daerah, lalu disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube, dan bisa ditonton ulang oleh siapapun setelahnya (setidaknya hingga saat tulisan ini diketik, 06-05-2024).
Jika pada tahun-tahun sebelumnya pidato-pidato di acara milad Perti cenderung lebih banyak diisi oleh cerita-cerita prestasi dan kegemilangan masa lampau, sementara fakta yang dihadapi oleh warga Perti di tingkat paling bawah justru penuh kegetiran dan kegamangan; sekarang pidato milad Perti sudah sinkron dengan kenyataan di lapangan. Bahkan, berkali-kali ketua umum menyampaikan ajakan “mari kita melihat ke dalam”, “mari berbenah”, “kita harus kompak”, dan seterusnya. Harapannya, ini bukan sekadar sikap berterus-terang, tapi benar-benar cerminan dari hati yang terus bertaut dan rasa yang makin menyatu, antara pengurus, pesantren, dan akar rumput Perti.
Kilas Balik 95 ke-96 tahun Perti
Dengan semangat keberterusterangan yang ditebar oleh Buya Ketua Umum itu pula, tulisan ini hendak menyampaikan satu-dua hal berdasarkan pengamatan penulis mengikuti perjalanan Perti dalam setahun terakhir melalui saluran yang dapat penulis amati dan ikuti.
Pertama, Perti harus bergerak melampaui sekat-sekat formal organisasi. Betul bahwa sebagai organisasi kemasyarakatan, Perti terikat dengan aturan dan urusan formal, tapi sejatinya organisasi ini lebih luas dari sekadar urusan formal. Sejarah panjang Perti menunjukkan bahwa ia tidak hanya “dihidupi” oleh pengurus, tapi juga oleh pesantren/madrasah, surau-surau, guru-guru, bahkan oleh tangan-tangan tak terlihat dan unsur-unsur tak terdefinisikan.
Dulu, sempat populer istilah “bertarbiyah”. Meski tidak ada definisi baku tentang ini, tapi istilah—yang telah menjadi semacam gerakan kultural ini—setidaknya mampu mengatasi problem komunikasi antar pengurus dan non-pengurus yang dibatasi dinding-pagar formal organisasi. Misalnya, ketika ditanyakan: mengapa anda terlibat di kegiatan ini padahal nama anda tidak ada dalam SK? Jawabnya singkat: karena ingin bertarbiyah. Mengapa anda hadir di acara ini padahal tidak diundang? Ya, karena bertarbiyah. Mengapa anda datang ke sekolah ini padahal bukan almamater anda? Karena sedang merawat semangat bertarbiyah.
Bahkan, sekadar membincang atau memikirkan satu persoalan sepele yang terdapat di pesantren/madrasah atau surau tertentu, walau bukan almamater atau surau sendiri, kita tidak akan merasa itu sebagai urusan yang nirmanfaat atau unfaedah, karena tujuan dan manfaatnya jelas: bertarbiyah. Sekali lagi, bertarbiyah!
Namun, pasca islah organisasi, istilah “bertarbiyah” agak meredup, barangkali sebagai respon alamiah untuk menghindari penilaian asosiatif atas beban sejarah organisasi ini yang terjebak pada dualisme selama puluhan tahun, di mana salah satu friksi menyebut dirinya sebagai “Perti”, sedangkan yang lain menyebut dirinya “Tarbiyah”.
Artinya, mengelola Perti tidak harus menunggu adanya program, kegiatan, pertemuan, rapat, dan agenda resmi terlebih dahulu; termasuk agenda milad, munas, raker; atau berdasarkan dokumen resmi seperti SK, AD-ART, undangan, dan seterusnya; tapi bergeraklah seluas dan seluwes mungkin, atas inisiatif dan semangat bertarbiyah, melompati pagar-pagar formal organisasi! Hanya dengan cara itulah organisasi ini akan dianggap penting dan tercerminkan dalam setiap aktifitas, tindak-tanduk, bahkan setiap helaan nafas jamaahnya.
Dalam konteks ini, setidaknya dua persitiwa luar biasa yang terjadi dalam rentang satu tahun terakhir di Sumatera Barat penting dijadikan perhatian serius, yaitu musibah longsor yang menimpa gedung pesantren MTI Ashabul Kahfi di Pesisir Selatan (07 mei 2023) dan kebakaran gedung PPTI Attaqwa di Kabupaten Agam (26 Januari 2024). Kedua pesantren itu, meminjam istilah yang digunakan Ketua Umum dalam pidatonya kemaren, merupakan “fondasi paling mendasar” bagi Perti.
Namun, kalaulah boleh kita bertafakur sejenak, longsor yang menghantam gedung MTI Ashabul Kahfi terjadi hanya selang dua hari setelah perayaan Milad Perti ke-95 yang dihelat cukup meriah di Padang (05 Mei 2023) dan dihadiri Wakil Presiden RI. Di hari kejadian, sang Ketua Umum Perti bersama sejumlah pengurus masih berada di Kota Padang dan sekitarnya hingga beberapa minggu setelahnya untuk menjalankan agenda-agenda yang sudah dirancang sebelumnya. Benar bahwa MTI Ashabul Kahfi tidak masuk dalam list agenda pengurus saat itu, tapi spirit “bertarbiyah” harusnya mendorong ketua bersama pengurus untuk datang ke MTI Ashabul Kahfi yang jarak tempuhnya dari Padang hanya sekitar 3-4 jam, walau untuk sekadar datang, menunjukkan empati, dan memberikan semangat kepada guru, pengelola pesantren, dan para santri agar salah satu fondasi Perti tetap kokoh.
Jika alasan tidak datang ke MTI Ashabul Kahfi saat itu adalah karena tidak ada dalam daftar agenda pengurus, maka inilah cara pandang serba formalitas yang hanya akan menjadi dinding tebal antara organisasi dengan pesantren/madrasah, surau, dan jamaah, yang pada akhirnya hanya akan mengerdilkan Perti di mata para jamaahnya sendiri, apatah lagi dalam pandangan khalayak luas. Di Minangkabau ada semacam ungkapan “sadangkan dunsanak malengah sajo, kununlah kok urang lain” (saudaranya saja tidak peduli, apalagi orang lain). Terserahlah nanti ada atau tidaknya bantuan materi atau upaya lobi ke pemerintah, tapi dalam suasana duka seperti itu, kehadiran saudara jauh lebih berarti dari setumpuk emas permata.
Jika hal-hal mendasar seperti ini belum beres di usia Perti yang sudah 96 tahun ini, maka sehebat apapun visi-misi, program, anggaran, struktur, rancangan, jaringan, dan sebagainya, Perti hanya akan jadi organisasi yang—maaf—kerdil, walaupun tema yang diusung saat ini adalah “menuju kejayaan Perti di usia satu abad”. Bisa saja ia akan maju secara organisatoris, tapi rapuh secara kultural. Artinya, Perti akan selalu “terhukum” oleh pesan sang Ketua Umum yang dikutip di awal tulisan ini, lebih-lebih lagi oleh amanat para buya pendiri Perti dulu.
Kedua, Perti hendaknya menjadi buah pikiran dan terefleksikan dalam interaksi keseharian pengurus dan anggotanya. Terkait ini, penulis mencoba mengikuti dan mengamati aktivitas sebuah grup WA yang ada nama Perti-nya, dalam satu tahun terakhir (05 Mei 2023 – 05 Mei 2024), untuk memahami sepenting dan semenarik apa terminologi-terminologi Perti dengan segala pernak-perniknya bagi para anggota grup tersebut. Tidak ada deskripsi bahwa grup tersebut adalah grup resmi organisasi, tapi dari 130an anggota yang tergabung di sana, sebagiannya adalah pengurus pusat dan daerah, termasuk organisasi-organisasi serumpun. Berikut gambarannya:
Dari 80.000an jumlah kata hasil percakapan selama setahun terakhir dalam grup tersebut, penulis menemukan bahwa tema-tema seputar Perti dan pesantren bukanlah yang paling banyak dibincangkan. Kata “pesantren” dan yang semakna (MTI, PPTI, Madrasah, sekolah) ditemukan sebanyak 155 kata. Jika ditambahkan kata “surau”, totalnya 167 kata. Sementara itu, kata-kata paling populer justru seputar politik elektoral pemilihan presiden yang mencapai 450 kata, tiga kali lipat dari jumlah percakapan seputar pesantren. Bahkan, penyebutan nama salah satu calon presiden saja bisa mencapai 172 kali, melebihi jumlah penyebutan kata “pesantren” dan yang semakna dengannya.
Nama–nama pesantren/madrasah (misalnya: pesantren A, MTI B, dan seterusnya) disebut agak lebih banyak ketimbang nama-nama partai politik. Terdapat 14 nama pesantren/madrasah yang disebut di sana, dengan frekuensi penyebutan berjumlah 75 kali. Angka ini sedikit lebih banyak dari penyebutan nama-nama partai politik yang berjumlah 70 kali. Menariknya, setiap kali pembahasan pesantren/madrasah yang masalahnya serius, selalu disela oleh percakapan lain seputar politik elektoral hingga politik internasional. Ketika ada pembahasan tentang pesantren yang kebakaran, setelah itu langsung muncul postingan tentang demokrasi Indonesia. Belum tuntas pembicaraan soal MTI dihantam longsor, langsung disela oleh pembicaraan soal Pilpres. Belum selesai informasi soal sebuah MTI di Kabupaten Tanah Datar yang akan dihidupkan kembali setelah puluhan tahun vakum, muncullah cerita soal Yahudi dan Bangsa Israel.
Lantas, bagaimana dengan istilah-istilah yang kerap digunakan di lingkungan pesantren? Paling banyak muncul di sana adalah kata “ibadah” (137 kali), lalu “shalat/sholat/salat” (93 kali), dan “dzikir/zikir” (16 kali). Lebih spesifik lagi: kitab (35 kali), ngaji (20 kali), kaji (18 kali), santri (38 kali), murid (16 kali), anak siak (0), khatib (5 kali), dan imam (31 kali). Menariknya, satu dari 31 penggunaan kata “imam” itu berkolokasi dengan kata “Ali” (maksudnya: Imam Ali). Istilah ini tentunya berasal dari khazanah Syi’ah, karena Syi’ahlah yang menyebut Ali bin Abi Thalib dengan istilah “Imam Ali”, sementara penyebutan yang biasa digunakan dalam khazanah Ahlussunnah Waljamaah adalah “Sayidina Ali” atau “Khalifah Ali”. Namun, tidak ada orang yang mempersoalkan penggunaan istilah “Imam Ali” tersebut di sana, karena komentar berikutnya sudah masuk ke persoalan Pilpres lagi.
Jika ditelisik lebih jauh frekuensi penggunaan istilah-istilah kunci dalam khazanah keilmuan pesantren/MTI, beginilah gambarannya: fikih/fiqh/fiqih (7 kali), nahwu (3 kali), tauhid (3), sharaf/sharf/saraf/sarf (0), tashrif/tasrif (0), tasawuf/tasauf (7 kali), mantiq (0), balaghah (0), matan (0), dan i’rab (0). Tentu saja istilah ini sangat spesifik dan teknis dalam keilmuan yang hanya dikenal oleh tamatan pesantren atau MTI, dan tentu juga Perti tidak membatasi diri hanya pada alumni pesantren/MTI, melainkan terbuka untuk semua orang yang bersedia merawat ahlussunnah waljamaah dan prinsip-prinsip organisasi Perti. Namun, ini hanya sekadar gambaran tentang bagaimana khazanah pesantren dibincangkan.
Kalau begitu, mari kita lihat penggunaan kata atau istilah yang mengekspresikan kesenangan dan kegembiraan yang tentunya berlaku sangat universal. Ternyata, dari 80.000an kata yang diproduksi dalam grup tersebut, tidak ditemukan ungkapan yang menunjukkan tawa atau candaan berupa “haha”, “hihi”, “huhu”, “hoho”, “wkwk”, atau “kwkwk”, melainkan hanya “hehe” yang ditemukan sebanyak tujuh kali, itupun hanya dari satu nomor. Artinya, ketika si pemilik nomor mengetik kata “hehe” dengan tujuan mengajak anggota lainnya ikut senang atau tertawa bersama, ternyata tidak ada respon sama sekali dari satu orang pun, lalu nomor tersebut mengulang “hehe” berikutnya hingga berjumlah tujuh kali.
Akhirulkalam, tulisan ini hanyalah ikhtiar pengharapan yang dinarasikan dengan cara agak panjang-berliku, agar upaya bertarbiyah berawal dari hati dan dilakukan dengan sepenuh hati, sehingga Perti pun melekat di hati jamaahnya. Pendekatan yang serba formal hanya akan menciptakan dinding pemisah yang tebal antara organisasi dan jamaah di akar rumput. Begitu juga hasrat untuk membenahi demokrasi nasional bahkan perpolitikan global tapi melupakan surau dan pesantren, itu seperti sibuk merisaukan taman di pinggir jalan raya tapi abai terhadap dapur sendiri yang sedang berantakan.[]