Oleh Muhammad Sholehin, Alumni MTI Canduang, Dosen Ekonomi IAIN Curup
Pada usianya yang tak terbilang muda, Persatuan Tarbiyah Islamiyah dihadapkan pada berbagai persoalan. Persoalan politik, ekonomi, agama, dan budaya. Namun yang paling mengelitik adalah persoalan agama. Mengapa? Karena hari ini Persatuan Tarbiyah Islamiyah dalam makna organisasi, terus tumbuh dan bergerak pada era dimana ideologi beragama mengalami ledakan untuk disebut dengan pertumbuhan pesat. Tentu ideologi dalam makna yang ditawarkan oleh William E. Shepard sebagai “pelabelan” atau labeling terhadap ekspresi keberislaman.
Hidup sebagai seorang muslim di era modern, saat ini, memang tak mudah. Pelbagai label seringkali dilekapkan pada umat Islam, tergantung pada ekspresi Islam seperti apa yang ditampilkan. Fundamentalis, modernis, dan sekuler. Namun, kini ketiga label itu tidak lagi memadai digunakan untuk memahami berbagai ekspresi dan amaliah keislaman yang muncul dalam kehidupan sosial. Tidak ada yang fundamentalis sejati. Tak ada pula yang modernis utuh. Apalagi mengklaim sebagai muslim sekuler per se. Semua saling beririsan, saling tumpang tindih. Hingga melahirkan varian-varian baru dalam mengekspresikan Islam sebagai sebuah agama. Dalam locus ini kemudian ‘ledakan ideologi beragama’ perlu dipahami. Ledakan seperti apa yang tengah terjadi? Lalu, bagaimana posisi Persatuan Tarbiyah Islamiyah ditengah situasi seperti itu?
Setidaknya ada beberapa dimensi untuk mengidentifikasi ideologi keberislaman, yang dapat ditawarkan pada kajian ini, yakni: identitas, otoritas, dan jejaring. Mempreteli ketiga dimensi ini, akan menghantarkan kita penemuan varian baru Islam, bagaimana Islam dimaknai, dan diekspresikan secara sosial. Pada dimensi identitas misalnya. Ada banyak persoalan yang muncul di sini. Cadar, isbal dan ekspresi lain yang merujuk pada identitas komunitas hijrah di kalangan umat Islam. Identitas ini mesti dipahami secara koheren. Tidak hanya dapat diartikan sebagai dampak dari kemajuan teknologi informasi, dimana kalangan hijrah hanya mengandalkan sumber-sumber artifisial Islam dalam memandu, dan menjadi patron dalam berislam. Sebut saja, mengandalkan google, youtube dan website dalam mempelajari Islam.Tetapi fenomena itu juga layak disandingkan kontestasi ideologi global, misal global salafisme.
Di sisi lain, muncul varian tandingan yang justeru menyudutkan identitas yang kerap ditampilkan oleh kelompok Islam populis seperti yang ada pada komunitas Hijrah. Varian Islam seperti ini mempertentangan cadar dengan assesoris Islam lokal, dan menggap cadar dan isbal hanya cultural taste belaka. Pandangan ini kemudian mendorong lahirnya beberapa tesis mengenai Islam populer. Hadirnya Islam populer tidak dapat lepas dari pengaruh modernisasi terhadap nilai-nilai budaya Islam dalam masyarakat. Ini ditandai dengan ekspresi yang mengandalkan assesoris modernitas seperti fashion; dan gaya bahasa.
Bahkan pada perkembangannya, Islam populer secara rutin memperlihatkan komodifikasi agama dengan menggunakan anasir-anasir kapitalisme dalam ritus Islam itu sendiri. Sebut saja munculnya, gerakan dakwah yang ditungangi oleh kapitalisme, dan mengakumulasi capital gains dari kegiatan-kegiatan beragama. Antara mengkhawatir dan niscaya, Islam populer adalah konsekuensi logis dari perkembangan teknologi dan ekspansi nilai-nilai kapitalisme dalam masyarakat. Ada realitas yang membuat Islam menjadi sumber ketegangan internal baru bagi umat, dan itu adalah gerakan global salafisme, yang saat ini berada dihadapan hidung Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Gerakan global salafisme ditandai dengan gerakan Islam yang fundamental, revivalis dan transnasional. Ideologi tersebar ke penjuru dunia, melalui perkelidanan dengan kekuatan ekonomi dan politik. Misal pemberian beasiswa kepada mahasiswa di negara Arab Saudi dan dana petrodollar yang mereka miliki. Alumni-alumni binaan ini, dijadikan agen kemudian menjelma menjadi pendakwah guna menyebarkan paham wahabi; dan revivalisme-Islam. Dari jaringan ini kemudian politik takfiri dan bi’dah kembali dipertontonkan di ruang publik. Kendati sesungguhnya dahulu, ideologi semacam ini pernah tumbuh pada abad ke-18 di Indonesia.
Ulama tradisional seperti Syeikh Sulaiman Arrasully, dan kaum tuo lainnya, tampil menjadi guardian atau benteng penjaga paham ahlussunnah wal-jamaah. Ulama tuo tidak pernah gentar bertempur di laut, darat dan udara dengan gerakan takfiri ini. Jika tidak dengan lisan. Ia membalas dengan tulisan. Begitulah sejarah mencatat. Lalu bagaimana dengan kita? Jamaah Persatuan Tarbiyah Islamiyah yang hidup puluhan tahun setelah generasi awal Ulama Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Pada kondisi ini, satu proyek kolektif yang layak bahkan niscaya diajukan disini: “Jamaah Tarbiyah Islamiyah sudah selayaknya mengambil jalan, dan menjadikan modal kultural yang ada menjadi solusi global. Memperkuat gerakan dakwah, untuk menguatkan pendidikan ahlussunnah wal jamaah. Berdakwah untuk menegakkan sosial enterpreneuship.” Proyek ini sejatinya layak menjadi agenda organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah.
Singkatnya, Persatuan Tarbiyah Islamiyah [hanya mungkin] menjadi solusi global mengimbangi ideologi salafisme global, memberdayakan sekolah dan menjadikan ahlussunah wal jamaah sebagai ideologi beragama, ketika Persatuan Tarbiyah Islamiyah dapat menjalankan gerakan ekonomi, dakwah berbasis perkembangan teknologi, dan penguatan sekolah secara filantropis. Jika tidak, maka Persatuan Tarbiyah Islamiyah akan tetap menjadi organisasi periperal, dan tidak akan pernah menjadi organisasi inti dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Allahu A’lamu Bis-shawab.[]
Tulisan ini dipaparkan dalam seminar daring Ikatan Pemuda Tarbiyah Islamiyah dengan tema,Tarbiyah Islamiyah Sebagai Solusi Global: Menakar Peran Tarbiyah Islamiyah di tengah Ledakan Idiologi Beragama