Dalam pesan pribadi yang dikirimkan kepada salah satu timnya, Alnofiandri Dinar, pada Jumat, 18 Oktober 2024, UAS mengungkapkan perasaannya yang terkejut dan berat hati. Pesan yang masuk melalui WhatsApp tersebut berbunyi:
“Ambo ke bumi Minangkabau krn ambo merasa nyaman. Masalah hati. Setiap disambut dgn pencak silat, ambo manangi, tabayang nenek moyang Syaikh Abdurrahman dulu di Pagaruyung.”
UAS mengaku bahwa setiap kunjungannya ke Sumatera Barat selalu meninggalkan kesan yang mendalam. Dia merasa sangat dihargai oleh masyarakat Minangkabau, bahkan menyebut dirinya bukan sebagai tamu, melainkan bagian dari Minangkabau itu sendiri. Dia mengingat bagaimana Bupati Agam, Indra Catri, menyambutnya pada kunjungan pertamanya ke daerah tersebut, dengan penuh kehangatan dan kehormatan.
“Ustadz Abdul Somad bukan tamu undangan, tapi ombak nan suruik ka darek, pulang ka kampuang halaman,” kenang UAS, mengutip sambutan yang pernah disampaikan Bupati Agam, Indra Catri, pada saat itu.
Namun, dengan adanya larangan ini, UAS merasa sangat berat untuk kembali menginjakkan kaki di Sumatera Barat. Dalam pesan lanjutan kepada Alnofiandri, UAS menulis:
“Untuk menginjakkan kaki ke bumi Minangkabau, rasonyo sampai mati ndak kan sanggup ambo.”
Pesan ini mencerminkan kekecewaan mendalam UAS terhadap larangan tersebut, terlebih karena Sumatera Barat sudah dianggapnya sebagai kampung halaman yang selalu menyambutnya dengan tangan terbuka.
Dalam ungkapan emosional tersebut, UAS juga menyiratkan bahwa dirinya telah terlalu terikat secara emosional dengan Sumatera Barat, hingga keputusan untuk menjauh terasa begitu menyakitkan.
“Memang ndak boleh terlalu sayang. Agak talabiah raso ati ambo ka bumi Minangkabau,” tambah UAS dalam pesannya.
Kekecewaan UAS ini memicu reaksi dari masyarakat, terutama di Payakumbuh dan sekitarnya. Banyak yang menyayangkan keputusan larangan tersebut, mengingat UAS selama ini selalu diterima dengan hangat oleh masyarakat Sumbar. Namun, di sisi lain, pihak MUI Payakumbuh tetap berpegang pada argumen mereka tentang perlunya menjaga netralitas dan menghindari politik praktis dalam kegiatan keagamaan.
Perasaan mendalam UAS terhadap Sumatera Barat, serta hubungannya dengan masyarakat Minangkabau, menambah kompleksitas polemik ini. Larangan yang diberlakukan terhadapnya tak hanya soal ceramah, melainkan telah menjadi bagian dari dinamika emosi dan hubungan yang terbangun selama bertahun-tahun (*).