Foto Internet
Madani, merupakan sebuah upaya untuk mencapai masyarakat yang berluhur tinggi dengan mengintekrasikan adat dan agama.
Gerakan Nagari Madani atau GNM yang dicetuskan Indra Catri selaku Bupati Agam tentunya patut diapresiasi. Gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan beragama dan beradat di delapan puluh dua nagari di daerah Agam ini dideklarasikan pada 30 September 2017 di Lubuk Basung, Kabupaten Agam.
Setahun berjalannya gerakan ini, tentu belum menimbulkan dampak yang terlalu signifikan. Namun, sejuah ini telah berhasil dijalankan secara bertahap. Hal itu diakui oleh Indra Catri bahwa GNM berjalan dengan baik di tengah masyarakat.
Perjalanan GNM ini perlu dievaluasi agar diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan gerakan tersebut. Salah satu indikator yang dapat dijadikan sebagai ukuran misalnya kasus LGBT di kawasan Agam. Menurut data yang dirilis Harianhaluan.com terdapat sekitar 903 pelaku LSL (lekaki suka sama lelaki) dan 52 orang waria (Harianhaluan.com, 01/11/18). Persoalan yang meyedihkan ini sudah jelas dan terang benderang bertentangan dengan konsep “madani” yang menjadi visi Kabupaten Agam.
Angka di atas dikhawatirkan akan terus meningkat, seandainya tidak dilakukan tindakan preventif. Sasaran yang perlu dilakukan pencegahan itu agaknya terfokus pada para remaja. Sebab, mereka masih memiliki pola fikir yang labil dan tidak mampu membedakan mana yang dibolehkan oleh agama dan yang dilarang. Di sinilah perlunya memperkuat GNM di sekolah dengan memaksimalkan peran serta guru dalam melindungi remaja agar tidak terpapar LGBT. Akan tetapi, sebelum lebih jauh berbicara tentang bagaimana bentuk kontribusi guru dalam mengembangkan GNM di sekolah sebaiknya diperjelas mengenai konsep GNM yang kemudian dapat diselaraskan dengan dunia pendidikan di sekolah.
Kontekstualisasi Spirit Masyarakat Madani dalam Gerakan Nagari Madani
Dalam bahasa Arab konsep masyarakat madani dikenal dengan istilah almujtama al-madani. Sementara dalam bahasa Inggris disebut dengan civil society. Selain kedua istilah tersebut ada dua istilah yang merupakan istilah lain dari masyarakat madani yaitu masyarakat sipil dan masyarakat kewargaan (Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Vol. 5 No. 9, Mei 2015).
Menilik lebih jauh tentang makna masyarakat madani dapat disimpulkan bahwa ini model masyarakat modern yang dibangun Nabi Muhammad SAW selepas hijrah ke Madinah. Dunia pun mengakuinya sebagai model masyarakat yang paling maju pada saat itu. Pola masyarakat inilah yang kemudian disepadankan oleh sarjana Barat dengan istilah civil society.
Ringkasnya, masyarakat Madinah yang dipimpin Rasul SAW tersebut merupakan bentuk masyarakat ideal. Beberapa cendikiawan mencoba merumuskan karakteristik masyarakat madani ini. Di antara mereka adalah Nurcholish Madjid alias “Cak Nur” yang menyatakan bahwa ada lima ciri-ciri masyarakat madani yakni masyarakat madani sebagai berikut: semangat egalitarianisme atau kesetaraan. Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan prestise seperti keturunan kesukuan, ras, dan lain-lain. Keterbukaan, dan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan (Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan: Vol. 5 No. 9, Mei 2015).
Rumusan Cak Nur tentang karakter masyarakat madani di atas boleh saja diterima. Namun, jika dikerucutkan karakteristik itu dapat dibagi pada tiga pondasi pokok. Pertama, persoalan keimanan menjadi landasan utama dalam membangun sebuah tatanan masyarakat yang moderen.Tanpa pondasi keimanan yang kuat saat itu tentu akan sulit bagi Rasul SAW membangun masyarakat Madinah. Kedua, aspek intelektualitas. Pokok-pokok intelektualitas yang ditanamkan Rasul SAW terlihat dari dijadikannya mesjid sebagai wadah untuk melakukan tranformasi wahyu dan pengetahuan. Ketiga, aspek sosial. Di Madinah lah Rasul SAW lebih banyak menata persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan, etika bergaul antar sesama, dan seterusnya. Apabila dikorelasikan dengan Gerakan Nagari Madani sejatinya merupakan reaktualisasi kembali spirit Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat Madinah empat belas abad yang silam. Hal itu dapat dicermati dari ketentuan umum Perbup Agam No. 59 Tahun 2009 tentang pedoman pelaksanaan Program Nagari Madani yang menyatakan bahwa maksud Nagari Madani adalah kesatuan masyarakat madani yang memegang teguh nilai-nilai agama Islam dan adat dalam kehidupan bermasyarakat berdasarkan prinsip kesetaraan, musyawarah dan mufakat, nilai ukhuwah, memupuk rasa cinta tanah air dan pengakuan terhadap hak azazi manusia di nagari /jorong.
“Kelas Madani” sebuah Konsep Integralisasi Gerakan Nagari Madani
Menyikapi kasus LGBT yang disebutkan di awal tulisan ini maka penting untuk diselesaikan agar Gerakan Nagari Madani di Kabupaten Agam benar-benar terwujud secara sempurna. Penerapan konsep dan pola masyarakat madani yang dipelopori Rasulullah SAW adalah sebuah keharusan jika benar-benar ingin memberantas perilaku menyimpang tersebut sekaligu menjadikan Kabupaten Agam layaknya Madinah tempo dulu. Ikhtiar yang dapat dilakukan antaranya melalui media lembaga pendidikan.
Dengan kata lain, Gerakan Nagari Madani (GNM) mestinya diintegralisasikan dengan proses pembelajaran di sekolah-sekolah, mulai dari tingkat TK/ PAUD hingga SMA sederjat. Proses integralisasi tersebut barangkali dapat diwujudkan dalam bentuk membuat “Kelas Madani”. Kelas yang dimaksudkan di sini merupakan model atau kelas teladan dengan menekankan pada nilai-nilai yang terkandung dalam GNM.
Penggunaan model kelas ini bisa jadi lebih “flekluatif” di mana dapat disesuaikan dengan kondisi psikologi-sosioal siswa-siswi yang dihadapi. Misalnya, dalam penataan ruang belajar harus mencerminkan nilai-nilai keislaman dan adat kebudayaan Minangkabau. Atau, ruangan belajar tersebut didekorasi sedemikian rupa dengan hiasan-hiasan yang berisikan pesan-pesan dari nilai yang telah dirumuskan dalam GNM. Pada intinya, Kelas Madani hanyalah satu model tawaran bagaimana guru dapat berperan dalam menyuseskan GNM sedangkan metode khususnya dapat beragam tergantung guru yang mengajarnya.
Oleh:
Neti Lestari
Guru Sekolah Dasar Negeri 04 Batu Putih Kamang Mudiak.