Sumbarmadani.com – Pengesahan UU TPKS oleh DPR-RI disambut baik oleh Pengurus Korps HMI-Wati (Kohati) HMI Cabang Padang. Pada hari Jumat (15/4), diselenggarakanlah kegiatan webinar dengan tema “Bincang-Bincang Seputar Isu Keperempuanan (Bisik) via Zoom Meeting. Kegiatan ini mengangkat judul “Menilik Pengesahan UU-TPKS: Kajian Sosiologis dan Alasan Dibalik Penolakan PKS”.
Untuk menjadikan diskusi lebih menarik, Kohati HMI Cabang Padang menghadirkan narasumber dari dua sisi berbeda, politisi dan akademisi. Dari sisi politisi, diundang Anggota DPR-RI, Hj. Nevi Zuairina (Fraksi PKS) dan dari akademisi, Rozidateno Putri Hanida, S.IP., M.PA (Dosen Unand).
Sepanjang jalannya diskusi, dapat disimpulkan bahwa peserta yang mengikuti kegiatan webinar ini berasal dari banyak kalangan, diantaranya akademisi, politisi, dan masyarakat umum.
Cici Lestari, S.M., selaku Ketua Umum Kohati HMI Cabang Padang menyampaikan bahwa webinar ini diadakan sejalan dengan disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada tanggal 12 April 2022 oleh DPR RI. Menurutnya, Kohati HMI Cabang Padang sebagai bagian organisasi HMI yang bergerak di bidang keperempuanan perlu tanggap tentang isu-isu perempuan. Apalagi, jika hal tersebut berhubungan dengan regulasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan itu sendiri.
“Kohati HMI Cabang Padang memandang kajian ini patut untuk diadakan sebab kami melihat ada hal yang menarik untuk didiskusikan. Jika kita perhatikan, dari 9 fraksi partai yang ada di DPR RI, hanya Fraksi PKS yang menolak UU ini. Kami yakin dan percaya, tentu ada alasan yang kuat dan logis dari penolakan Fraksi PKS tersebut,” paparnya.
Cici juga menjelaskan karena alasan tersebutlah, maka Kohati HMI Cabang Padang mengundang Bu Nevi sebagai perwakilan Fraksi PKS untuk sama-sama dimintai penjelasan persoalan tersebut. Di sisi lain, kami juga ingin tahu bagaimana pandangan akademisi dengan adanya pengesahan RUU-TPKS ini, itu pula dasar diundangnya Ibu Rozidateno. “Semoga webinar ini berjalan lancar dan bisa memberikan wawasan baru untuk kita semua,” harapan Cici.
Hj. Nevi Zuairina selaku Anggota DPR RI Fraksi PKS Sumbar mengatakan bahwa ada 6 alasan yang mendasari penolakan UU TPKS oleh Fraksi PKS. Pertama, Fraksi PKS mengutuk keras dan menolak segala bentuk kejahatan seksual, mendukung terhadap upaya-upaya pemberatan pidana termasuk pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual dan pemulihan terhadap korban kejahatan seksual.
Kedua, pembentukan UU yang mengatur tentang tindak pidana kesusilaan termasuk di dalamnya kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan seksual harus memeperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa diperlukan langkah perbaikan untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana kesusilaan oleh pembentukan UU.
Ketiga, setelah menerima banyak masukan dari masyarakat terkait RUU TPKS, Fraksi PKS konsisten untuk memperjuangkan agar dalam RUU TPKS diatur perihal larangan dan pemidanaan terhadap perzinaan dan penyimpangan seksual sebagai salah satu bentuk tindak pidana kesusilaan. Norma perzinaan dalam KUHP bermakna sempit sehingga tidak bisa menjangkau perbuatan zina yang dilakukan oleh pasangan yang keduanya belum terikat perkawinan dengan pihak lain.
Keempat, Fraksi PKS juga mengusulkan untuk memasukkan ketentuan larangan hubungan seksual berdasarkan orientasi seksual yang menyimpang (LGBT) atau penyimpangan seksual dalam RUU TPKS, dengan mengakomodasi pemidanaan bagi pelaku penyimpangan seksual baik dilakukan terhadap anak maupun dewasa, melarang segala bentuk kampanye penyimpangan seksual, dengan memberikan pengecualian bagi pelaku penyimpangan seksual karena kondisi medis tertentu yang harus direhabilitasi.
Kelima, Fraksi PKS memberikan masukan bahwa dalam perumusan jenis-jenis tindak pidana, sebaiknya disesuaikan dengan tindak pidana, kesusilaan yang telah dibahas dalam RKUHP agar rumusan tindak pidananya lengkap, integral, komprehensif dan tidak menimbulkan pemknaan lain yang tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Keenam, Fraksi PKS menilai bahwa penyesuaian delik kesusilaan antara RUU TPKS dengan RKUHP penting dilakukan agar pelaksanaan RUU TPKS ini tidak menimbulkan penafsiran berbeda, mengingat dasar pemidanaan dalam RUU TPKS ini hanya menggunakan tolak ukur perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur kekerasan saja. Sedangkan perbuatan seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka (sexual consent) dan segala bentuk penyimpangan seksual yang tidak mengandung kekerasan. Meskipun keduanya bertentangan dengan hokum agama dan nilai-nilai hokum yang hidup di masyarakat tetap tidak dapat dipidana.
“Kami berharap agar RUU KUHP tentang RUU TPKS ini segera dibahas dan disahkan. Hal ini agar membuat kesempurnaan dari UU TPKS ini. Hanya beberapa pasal saja yang kami tidak setujui dan perlu pembahasan lanjutan, Namun, kalau pasal-pasal lain seperti perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, kami dari fraksi PKS sangat menyetujui hal tersebut,” ungkapnya.
Rozidateno Putri Hanida, S.IP., M.PA. mengatakan bahwa tugas penting para stake holder ke depan adalah untuk mengawal UU TPKS. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa UU ini perlu diturunkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden, peraturan kementrian, dan peraturan-peraturan lainnya. Menurutnya, peraturan kementrian terutama kementrian sosial perlu dibuat karena akan berkaitan dengan tempat rehabilitasi dan rumah perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
Namun meskipun begitu, Ojik (sapaan akrab) menganggap bahwa UU ini dipandang sudah bisa menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual. “Melalui UU ini, masyarakat bisa berpartisipasi lebih luas. Publik bisa melaporkan dan memberi perlindungan pada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual,” sampai Ojik.
Sejalan dengan Hj. Nevi Zuairina, Rozidateno Putri Hanida, S.IP., M.PA. juga melihat bahwa perlu adanya revisi beberapa pasal dalam UU TPKS ini. Salah satunya adalah terkait dengan sexual consent. Ia melihat bahwa kekerasan seksual bisa dibungkus dengan dalih sexual consent terutama di kampus. Mahasiswa bisa saja mendapatkan kekerasan seksual agar bisa mendapatkan nilai yang bagus dari dosen. Padahal, hal tersebut ia lakukan atas dasar keterpaksaan.
“Sudah dua periode DPR membahas UU ini. Namun, baru kali ini UU ini bisa disahkan. Jika kita lihat, UU ini sangat berpihak pada anak dan perempuan. Kita harus bergembira bahwa UU ini mendesak agar pemerintah daerah memiliki pusat pelayanan terpadu agar bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan keluhan-keluhan pada perempuan dan anak. Segala protokoler terkait UU ini perlu diperhatikan. Kita masih menunggu rangkaian panjang dari penerapan UU TPKS ini,” ujarnya.
Rozidateno Putri Hanida, S.IP., M.PA berharap agar di tahun 2023 nanti sudah ada alokasi khusus di APBN terkait UU TPKS ini. Ia juga berharap agar kemudian UU ini bisa diterapkan dan ditegakkan dengan sebaik-baiknya. Ia juga menekankan bahwa UU ini perlu dikawal oleh semua pihak agar bisa menjadi UU yang implementatif.
Nabusfanando, S.Ak selaku Ketua Umum HMI Cabang Padang memberikan apresiasi pada webinar yang diadakan Kohati HMI Cabang Padang kali ini. Ia berharap agar Kohati HMI Cabang Padang bisa selalu sigap menanggapi isu-isu terkait dengan perempuan. Di samping itu, ia juga berharap agar ke depannya kegiatan-kegiatan seperti ini lebih masif lagi dilakukan.
”Pada dasarnya, isu-isu keperempuanan dan anak adalah salah satu concern dari HMI. Namun, dalam hal ini, Kohati memiliki peran yang sedikit lebih karena ia adalah perpanjangan tangan dari HMI terkait isu-isu seperti ini. Sekali lagi, saya memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya pada Kohati HMI Cabang Padang atas suksesnya kegiatan webinar ini,” tutupnya. (MH)