BRUTALITAS DAN REPRESIFITAS APARAT DI RUMAH TUHAN!
Sumbarmadani.com – Ribuan masyarakat dari Pigogah Pati Bubur, Air Bangis Pasaman Barat datang ke Kota Padang tercinta pada tanggal 30 juli 2023. Kota dimana kantor Gubernur Sumatera Barat nan “bengis” itu berdiri megah. Masyarakat datang dengan segenap harapan untuk menyampaikan aspirasi mereka terhadap keresahan-keresahan yang mereka rasakan selama ini. Karena tidak juga mendapat solusi dari Bupati di Kabupaten setempat.
Sesampainya di Ibu Kota Provinsi, Mesjid Raya Sumatera Barat menjadi tempat mereka beristirahat dan juga beribadah karena memang Mesjid selalu terbuka untuk siapa saja, apalagi bagi mereka yang sedang berjihad memperjuangkan keadilan dan nasibnya.
Keesokan harinya, 31 Juli 2023 mereka berjalan dari Mesjid tersebut menuju kantor gubernur dengan melakukan aksi damai, dengan harapan keluh kesah mereka ditanggapi oleh si gubernur sebagai pemangku kebijakan tertinggi di sebuah Provinsi. Namun hanya penat yang mereka dapatkan, lima hari lamanya mereka lakukan aksi damai, di bawah terik matahari yang menyengat dan juga hujan yang berjatuhan membasahi bumi. Namun semangat mereka tidak pernah surut, walaupun tidak pernah ditemui oleh gubernur. Memang begitulah wajah pejabat di negeri ini, mau menemui masyarakat ketika hanya kampanye di waktu pemilu saja.
Sebenarnya tuntutan yang dibawa oleh masyarakat jauh- jauh datang dari kampung kepada gubernur tidak berat amat-amat sih, tidak seberat penderitaan yang mereka rasakan. Masyarakat hanya meminta agar usulan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ada dikampung mereka dicabut, tarik brimob dari kampung mereka, bebaskan keluarga mereka yang ditangkap secara semena- semena, biarkan mereka bebas menjual hasil kebun yang mereka tanam sendiri kepada siapapun.
Itu saja yang menjadi tuntutan kecil dari mereka sebagai masyarakat yang telah lama menghuni kampung tersebut.
Namun harapan mereka untuk bertemu dengan gubernur di hari selanjutnya sirna begitu saja. Sabtu sore, 5 Agustus 2023 Ketika mereka sedang beristirahat sembari melantunkan sholawat kepada nabi di palantaran mesjid, tiba- tiba datanglah segerombolan manusia yang mengatasnamakan diri mereka sebagai aparat negara (Polisi). Tanpa rasa iba dan kasihan sedkitpun, masyarakat dipaksa, diseret, dipukul, ditangkap dengan sewenang-wenang. Dengan dalih ingin memulangkan warga karena prihatin dan sebagainya. Apakah cara seperti itu adalah bentuk keprihatinan dari polisi?
Ratapan dan tangisan masyarakat berderai berjatuhan tapi tetap diperlakukan tidak manusiawi sama sekali oleh si aparat-aparat itu. Bahkan tak ubahnya diperlakukan seperti “binatang”. Di rumah Tuhan nan suci, yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi hambanya, malah menjadi tempat menyeramkan ketika gerombolan aparat negara itu datang dengan bersenjata lengkap, untuk mengusir hamba-hamba Tuhan yang sudah lima hari beristirahat karena bolak balik ke halaman kantor gubernur dalam menuntut hak mereka sebagai rakyat.
Apakah begitu cara pemimpin melalui kekuatan aparat negara, di tanah yang katanya beradat ini, yang fasih dengan falsafahnya “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”?, lalu tindakan aparat yang semacam itu kepada masyarakat, apakah sesuai dengan falsafah yang selalu digaung-gaungkan itu?. Adakah agama yang menghalalkan perlakuan aparat polisi yang brutal dan represifitas, atau apakah adat minangkabau membenarkan semua kekejian semacam itu?…
Miris melihat masyarakat di perlakukan bak binatang, oleh orang- orang yang berseragam itu, padahal mereka digaji setiap bulannya dengan uang rakyat, dimana seharusnya mereka melindungi, melayani, mengayomi. Tetapi malah bertindak secara brutal dan merepresi masyarakat yang seharusnya mereka lindungi. Apakah aparat negara hanya mengandalkan otot dalam bertugas tanpa menggunakan pikiran dan hatinya nuraninya?. Demi menjalankan perintah atasan dengan kalimat “siap ndan, siap ndan”.
Lalu setelah peristiwa brutal dan represif itu, adakah mereka para aparat yang terlibat meminta maaf atas kekejamannya?, sama sekali tidak pernah meminta maaf kepada masayarakat. Malah membuat klarifikasi di media-media untuk pencitraan yang kemudian saeolah-olah peduli dengan masyarakat. Sepertinya benar guyonan Gusdur terkait polisi baik dan jujur, “di indonesia ini cuma ada tiga polisi yang baik dan jujur yaitu: polisi tidur, patung polisi dan jenderal hoegeng”. Begitulah faktanya cuma baik di depan layar saja. Mahasiswa, masyarakat dan pendamping hukum mereka tangkap saat berada di lokasi peristirahatan, dengan dalih diamankan, diamankan kok hampir 24 jam. Hehehe polisi mah bebas main tangkap saja tanpa memperhatikan mekanisme dan aturan hukum yang berlaku.
Parahnya lagi, ketika peristiwa itu berlangsung, seorang pendamping hukum dipukul beberapa kali oleh “preman” berseragam itu dihadapan banyak orang pada saat diseret dan dipaksa masuk kedalam mobil polisi. Tampak jelas di video rekaman yang beredar, padahal sipendamping hukum sudah minta ampun, namun tetap saja dipukul oleh paja yang indak bautak tu. Hemm, berbadan tegap, dikasih seragam oleh negara malah untuk memukul rakyat. Tapi si tukang pukul itu sampai sekarang aman-aman saja, apa karena dia seorang polisi kali ya?. Jadi tak tersentuh hukum, mungkin ini yang namanya hukum itu tumpul ke atas tajam ke bawah.
Katanya setiap orang sama dihadapan hukum “equality before the law”. Pada kenyataannya setiap penganiyaan yang melibatkan anggota polisi di republik ini, nampaknya jarang tersentuh oleh hukum. Coba kalau rakyat kecil yang melanggar hukum, hukumannya minta ampun, kalau tidak ada pasal untuk perkara tersebut, bisa dicari-carikan pasalnya, yang penting ada pasal dan hukumannya. Maklum Indonesia kan gudang pasal-pasal untuk menjerat masyarakatnya sendiri, terutama untuk rakyat yang sedang mencari keadilan.
Menurut penulis tidak satupun aturan hukum yang membenarkan perbuatan dan tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, seperti yang penulis ceitakan di atas. Bahwa setiap orang berhak hidup tanpa disiksa, apalagi kejadian tersebut terjadi di rumah Tuhan. Sungguh sangat miris dan patut menjadi perhatian kita bersama kedepannya, agar- agar kejadian seperti itu tidak terulang dikemudian hari di tanah nan beradat ini. Ingat di atas hukum ada yang namanya kemanusiaan. Panjang umur hal-hal baik.
===================================================
Penulis: Muhammad Jalali
Masyarakat Sipil Sumatera Barat