Dalam kasus OSO ada dua hal yang berbeda, Bawaslu memiliki struktur berfikir hukum yang jelas dan dengan asas-asas penerapan hukum yang tepat. Namun tetap saja dinilai inkonsisten.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebelumnya telah memutus sengketa proses diajukan oleh Oesman Sapta Odang (OSO), sengketa tersebut terkait pencalonannya sebagai anggota DPD RI yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU, karena belum mengundurkan diri dari jabatan sebagai ketua umum partai.
Dalam putusannya, Bawaslu justru memperkuat putusan KPU yang memiliki semangat sama dengan putusan MK No.30/PUU-XVI/2018, sehingga tetap dinyatakan TMS. Selain putusan Bawaslu, paling tidak ada 3 (tiga) lembaga peradilan yang mengeluarkan putusan terkait kasus pencalonan OSO, sebut saja Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Secara garis besar, ada dua pendapat yang berseberangan, yaitu pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.30/PUU-XVI/2018 yang memutus bahwa pengurus partai politik dilarang mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sementara itu, Mahkamah Agung memutuskan bahwa pasal 60 A ayat (1) huruf P Peraturan KPU nomor 14 tahun 2018 tentang pencalonan DPD yang diubah dengan PKPU nomor 26 tahun 2018 tentang perubahan PKPU nomor 14 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPD dinyatakan bertentangan dengan pasal 182 huruf l UU Pemilu, akhirnya membolehkan OSO menjadi calon anggota DPD dan menyatakan OSO memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD meskipun masih bersatus sebagai Ketua Umum.
Perbedaan pendapat dua lembaga tinggi negara tersebut selanjutnya juga berdampak terhadap putusan PTUN, saat OSO mengajukan gugatan sengketa proses, pasca kalah di Bawaslu. Majelis hakim PTUN Mengabulkan gugatan OSO dan membatalkan SK KPU yang menyatakan OSO tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD.
Dalam amar putusannya, PTUN menilai kepesertaan OSO yang merupakan pengurus partai politik, adalah memenuhi syarat, sebab peraturan KPU nomor 26 tahun 2018 yang mensyaratkan agar calon anggota DPD mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik telah dinyatakan oleh Mahkamah Agung bertentangan dengan undang-undang Pemilu.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang meminta agar pengurus Parpol mengundurkan diri jika ingin mendatar sebagai calon anggota DPD tahun 2019, dianggap tidak dapat dilaksanakan jika belum dimasukkan ke dalam undang-undang Pemilu.
Terhadap putusan lembaga peradilan tersebut, menciptakan kebingungan tersendiri bagi KPU dalam mengambil keputusan. Sebab putusan kedua lembaga tersebut punya dasar yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Untuk pertimbangan-pertimbangan hukumnya, KPU terus berkonsultasi dan meminta masukan kepada banyak pihak, diantaranya Mantan Ketua Mahkamah Agung, mantan Ketua MK, Kuasa hukum hingga sejumlah LSM. Alhasil, KPU akhirnya tetap mencoret OSO dari DCT, karena OSO tetap tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari jabatan ketua umum partai politik, meski sudah ditunggu oleh KPU sampai batas akhir validasi surat suara.
Akibatnya, OSO melalui kuasa hukumnya kembali mengajukan laporan ke Bawaslu, kali ini bukan sengketa, melainkan pelanggaran administrasi sebab KPU tidak memasukan OSO kedalam DCT, sesuai dengan Putusan PTUN.
Bawaslu dalam putusannya menyatakan KPU terbukti melakukan pelanggaran administrasi dalam kasus pencalonan anggota DPD atas nama Oesman Sapta Odang (OSO), dengan alasan bahwa KPU tidak menjalankan amar putusan PTUN yang memerintahkan untuk memasukan OSO ke dalam Datar calon tetap (DCT) Pemilu tahun 2019. Dalam amar putusannya, Bawaslu memerintahkan KPU untuk melakukan perbaikan administrasi dengan mencabut Keputusan KPU nomor 1130 tertanggal 20 September 2018 tentang penetapan DCT calon anggota DPD Pemilu 2019, dan meminta KPU menerbitkan keputusan baru tentang penetapan DCT calon anggota DPD dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya.
Pasca putusan Bawaslu yang meloloskan OSO dalam DCT, berbagai pendapat berkembang dan terdapat pro dan kontra di kalangan pengamat dan pemerhati Pemilu. Akibatnya ada yang mempertanyakan konsistensi Bawaslu dalam menerapkan aturan pemilihan umum. terlepas dari itu semua, ada beberapa hal perlu dirunut kembali, jika ingin menguji konsistensi bawaslu dalam kasus pencalonan OSO tersebut.
Pertama, alur penyelesaian sengketa proses adalah diselesaikan di Bawaslu, dan apabila putusan bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (Vide Pasal 469 ayat 2), kemudian putusan PTUN terhadap penanganan sengketa proses bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain (Vide Pasal 471 ayat 7).
Kedua, ada perbedaan jenis perkara yang ditangani Bawaslu yang pertama dan yang kedua dalam kasus yang diajukan oleh OSO. Kasus yang pertama merupakan sengketa proses pencalonan yang diputus oleh Bawaslu pada tanggal 5 Oktober 2018 dan kasus yang kedua adalah pelanggaran administrasi yang diputus pada tanggal 9 januari 2019, keduanya adalah 2 (dua) jenis perkara yang berbeda. Dalam menangani sengketa proses Bawaslu memerikasa dan mengadili mengenai substansi pada pasal 182 huruf L yaitu tentang “pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas wewenang dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Untuk itu bawaslu berpegang kepada putusan MK sebagai dasar pengambilan keputusan, sehingga putusannya justru memperkuat putusan KPU.
Sementara untuk kasus yang kedua, merupakan pelanggaran administrasi, yang diperiksa oleh Bawaslu adalah terkait pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh KPU, yaitu tidak menjalankan putusan PTUN yang memutus untuk memasukkan OSO kedalam DCT. Dalam memutus perkara pelanggaran administrasi ini, tentu saja Bawaslu memutuskan menyatakan KPU melakukan pelangaran administrasi, sebab undang-undang nomor 7 tahun 2017 sudah jelas mengatur bahwa mengenai sengketa proses pemilu, putusan PTUN adalah bersifat final dan mengikat, sehingga putusan PTUN harus dijalankan oleh KPU. Jika putusan tersebut tidak dijalankan maka merupakan pelanggaran bagi KPU. dalam konteks ini, bawaslu konsisten berpegang teguh dalam menjalankan undang-undang.
Ketiga, dalam menanggapi perbedaan pendapat hukum antara putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan Mahkamah Agung, Bawaslu mengakomodir kedua pendapat tersebut. Putusan Mahkamah Agung jelas sudah diakomodir langsung melaui putusan PTUN, sementara untuk putusan Mahkamah Konstitusi Bawaslu menggunakan asas-asas hukum materil, dalam rangka menjaga konsistensi dan koherensi aturan-aturan hukum dalam putusannya. Apabila OSO terpilih menjadi anggota DPD, maka saat itu OSO harus mengundurkan diri, sebab jabatannya sebagai pengurus partai politik sangat rentan akan menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, atau hak sebagai anggota DPD sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, dalam mengambil keputusan terhadap kasus pencalonan OSO, baik pada kasus yang pertama, amupun kasus yang kedua, Bawaslu memiliki struktur berfikir hukum yang jelas dan dengan asas-asas penerapan hukum yang tepat.
Oleh: Eka Novriadi, Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Andalas (Unand).