Jibril AS mendatangi Nabi SAW, dan menanyakan tentang beberapa hal, diantaranya tentang Islam. “Ma huwa al-Islam”. lalu Nabi menjawab, “Islam adalah bersaksi tiada Tuhan salain Allah, bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu”.
Dalam redaksi lain dikatan Islam adalah menyembah Allah dan tidak menserikatkan-Nya dengan segala sesuatu, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa ramadhan. Sedangkan penganutnya disebut Muslim.
Muslim itu diterangkan dalam hadis adalah selamat orang lain dari lisan dan tangan(prilaku)nya.
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
“Al-Muslim adalah orang yang selamat mulim lainnya dari lisan dan tangannya, sedangkan al-Muhajir adalah orang yang hijrah dari apa yang dilarang oleh Allah darinya”. (HR. al-Bukhari).
Muchlis M. Hanafi mengatakan bahwa Islam dan umat Islam saat ini paling tidak menghadapi dua tantangan;
Pertama, kecenderungan umat Islam untuk bersikap ekstrim dan ketat dalam memahami hukum-hukum agama dan memaksakan cara tersebut dalam masayarakat Muslim.
Kelompok ini ditandai dengan mudahnya membid’ahkan amal ibadah seseorang dan bahkan mengkafirkan saudaranya sendiri dan sebagainya.
Kedua, kecenderungan bersifat longgar dalam beragama dan tunduk serta patuh pada budaya dan peradaban lain. Kelompok ini diebut juga dengan kelompok liberal dan sekuler. Tantangan yang disebutkan di atas dapat dikategorikan pada ekstrim kanan dan ekstrim kiri.
Ekstrim kanan adalah kelompok yang menginginkan kebangkitan dan kejayaan Islam seperti masa lampau dengan dalih mengikuti shalafussahlih, sehingga seolah memaksakan kehendak, akibatnya melahirkan citra negatif terhadap Islam dan umat Islam.
Sedangkan ekstrim kiri adalah kelompok liberal dan sekuler yang mengakibatkan Islam kehilangan jati diri, karena larut dan lebur dalam budaya dan peradaban lainnya.
Kedua kelompok yang disebutkan di atas tentu bertentangan dengan karakteristik Islam yang dijelaskan oleh Alquran Qs. Al-Baqarah/2: 143:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat yang moderat (ummatan wasathan).
Fakhruddin al-Rāzī, menafsirkan wasathan, dengan al-‘adl (adil), dengan demikian, maka makna ummatan wasathan adalah umat yang adil. Makna adil ini muncul dari kata wasath yang memiliki arti pertengahan, dikatakan adil karena berada pada posisi tengah, tidak cenderung kekiri dan tidak cenderung kekanan.
Ibnu Faris menjelaskan kata wasth memiliki makna yang bekisar pada adil, baik, tengah, dan seimbang. Term washt dan dirivasinya dalam Alquran terulang beberapa kali penyebutan diantaranya, dalam Qs. Al-Baqarah/2:143 ((أمة وسطا& 238 (والصلوة الوسطى), Qs. Al-Māidah/5: 89 (من أوسط),Qs. Al-Qalam/68:28 (أوسطهم.
Nabi Muhammad Saw bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh al-Qafāl dari al-Tsaurī dari Abī Sa’id al-Khudrī dari Nabi SAW “ummatan wasthan” adalah umat yang adil, lalu Nabi SAW melanjutkan sabdanya “Khair al-Umūr austhuhā ay ‘adāluhā” sebaik-baik pekerjaan adalah yang pertengahan artinya yang paling adil.
Dari hadis Nabi SAW di atas dapat dipahami bahwa perbuatan awshath (moderat) berada pada dua sisi perbutan yang tercela, seperti sifat dermawan merupakan pertengahan antara sifat kikir dan boros, berani adalah pertengahan antara takut dan sembrono.
Ummatan washathan, juga disebut dalam ungkapan lain oleh Allah dengan ungkapan khair ummah. Qs. Ali ‘Imran/3:110;
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Qs. Ali ‘Imran/3:110).
Ayat di atas menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, dengan bercirikan pada menyuruh kepada yang makruf dan menegah dari yang mungkar, tentunya amar ma’ruf nahi mungkar tersebut harus disampaikan dengan sikap washatiyah (moderat)
Perilaku washathiyah (moderasi) ajaran Islam tercermin dalam berbagai hal;
Pertama akidah, akidah Islam berada di tengah antara mereka yang tunduk pada khurafat dan mempercayai sesuatu walaupun tanpa dasar, dan mereka yang mengingkari segala sesuatu yang berwujud metafisik, dengan demikian Islam mengajak akal manusia untuk membuktikannya secara rasional, hal ini tergambar dalam Qs. Al-Baqarah/2: 111 “qul hātū burhānakum in kuntum shādiqīn”.
Dalam aspek aqidah ini, Ahlusunnah wa al-Jamā’ah (Abū al-Hasan al-‘Asy’arī [260 H/873M] dan Abū Manshūr al-Māturidī [324H/935M]) berada pada posisi wasathiyyah, ia mengedepankan prinsip al-‘Adālah (adil) al-Tawāzun (seimbang), dan at-Tasāmuah (toleransi) dalam berfikir tentang aqidah al-Islāmiyah.
Kedua Ibadah dan syiar agama.
Ibadah merupakan bentuk komunikasi manusia dengan Allah. Kewajiban melaksanakan ibadah tidak banyak dan menyulitkan. Dalam praktik ibadah yang dilakukan mestinya juga mengedepankan prinsip washathiyah (moderat), tidak mengatakan ibadah yang kita lakukan adalah yang paling benar, dan bahkan mengedepankan gagasan tak perlu bermazhab dalam masalah ibadah, harus kembali kepada Alquran dan sunnah secara tekstual, dan bahkan memunculkan stigma harus kembali pada ajaran shalafushalih, sehingga mengabaikan mazhab fiqih yang empat.
Dalam konteks moderasi Islam dalam ibadah imam madzhab yang empat( al-hanafī, al-Mālkī, al-Syāfi’ī, dan al-Hambalī) telah mempraktikkan washathiyah, dengan mengedepankan ‘Adālah (adil) al-Tawāzun (seimbang), dan at-Tasāmuah (toleransi) dalam praktik ibadah (baca fiqh empat mazhab), saling menghargai hasil ijtihadnya.
Ketiga akhlak, akhlak merupakan cerminan dari perilaku Muslim, oleh karenanya mesti berprilaku adil dalam bertindak, tawāzun dalam berekspresi, dan toleransi dalam bergaul. Jangan perlihatkan perilaku yang keji yang telah digariskan oleh agama.
Kita menyadari bahwa saat ini adalah tahun politik, dimana semua orang akan menentukan pilihan politiknya, dan tentunya pilihan yang diambil akan berbeda-beda juga. Oleh karenanya jaga sikap kita sebagai umat yang moderat, jangan sampai mengedepankan perilaku yang melahirkan perpecahan ditengah-tengah umat, mari pegang teguh prinsip washatiyah dalam kehidupan sehari-hari. Yang menjunjung tinggi sikap ‘Adālah (adil) al-Tawāzun (seimbang), dan at-Tasāmuah (toleransi).
Kesimpulan, Alquran menyebut umat Islam sebagai umut pertengahan, umat terbaik yang menegakkan kebenaran dan menghalu kebatilan. Kebaikan akan diperoleh dengan sikap moderat yang dimiliki. sikap washathiyah menghendaki adanya ‘Adālah (adil) al-Tawāzun (seimbang), dan at-Tasāmuah (toleransi) ditengah-tengah umat. Dunia saat ini membutuhkan hal seperti itu. Oleh karenanya mari kita kembangkan sprit washatiyah yang menjadi rahmat bagi sekalian alam. amin
Wallāhu‘Alam.
Oleh: Aldomi Putra, Pemuda Tarbiyah Sumatera Barat (Sumbar).