Sumbarmadani.com-Pemilu merupakan sarana demokrasi guna mewujudkan sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat. Terselenggaranya pemilu secara demokratis menjadi dambaan setiap Warga Negara Indonesia. Pelaksanaan Pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Setiap masyarakat memiliki kebebasan untuk ikut serta berpartisipasi dan memeriahkan pesta demokrasi Pemilu. Ada yang berperan sebagai simpatisan, mendukung setiap sosialisasi kampanye, dan ada pihak yang berperan sebagai pendukung dan tim kampanye, serta ada yang berperan sebagai peserta pemilu. Namun, ada juga pihak yang dibatasi hak politiknya seperti TNI dan Polri. Dalam politik praktis, pengurus parpol, calon/paslon, tim kampanye/tim sukses, simpatisan merupakan pihak yang terlibat langsung dalam memenangkan parpol dan/atau paslon sebagai Peserta Pemilu.
Dari berbagai peran komponen masyarakat dalam Pemilu, terlihat ada beberapa Pemerintahan Desa yang terdiri dari kepala desa, perangkat desa dan badan permusyawaratan desa ikut serta berpartisipasi dalam politik praktis. Sehingga muncul pertanyaan dan perdebatan di tengah-tengah masyarakat, apakah Pemerintahan Desa boleh ikut dalam berpolitik praktis?
Sebelum membahas terkait boleh atau tidaknya pemerintahan desa ikut dalam berpolitik praktis terlebih dahulu kita perlu mengetahui apa itu pemerintahan desa. Pemerintahan Desa atau disebut dengan nama lain pemerintahan nagari adalah penyelenggara urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau disebut dengan nama lain Bamus dan pemerintah desa atau disebut dengan nama lain pemerintah nagari.
Selanjutnya pemerintah desa atau pemerintah nagari terdiri dari Kepala desa atau disebut dengan nama lain Wali Nagari dan perangkat desa atau disebut dengan nama lain perangkat nagari. Kemudian perangkat desa atau perangkat nagari terdiri dari sekretariat desa atau sekretariat nagari, pelaksana kewilayahan (kepala dusun atau kepala jorong), dan pelaksana teknis (kasi dan kaur).
Larangan Pemerintahan Desa dalam berpolitik praktis dan terlibat dalam kegiatan kampanye diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu juncto Peraturan KPU Nomor 15 tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 pasal 29 huruf (g) disebutkan Kepala Desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) dilarang ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.
Dalam undang-undang tersebut, kepala desa memiliki peran sebagai pihak yang netral, kepala desa memiliki peran sebagai pihak yang netral. Kepala desa dilarang untuk ikut serta dalam politik praktis, tidak bisa menjadi pengurus partai politik atau anggota partai politik dan tidak dapat juga menjadi tim kampanye atau tim sukses peserta pemilu atau pilkada.
Perangkat desa yang terdiri dari sekretariat desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis juga dilarang untuk terlibat dalam politik praktis dan kampanye. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dalam pasal 51 huruf (g) disebutkan bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik dan pada huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah. Dan di dalam pasal 64 huruf (h) disebutkan bahwa Badan Permusyawaratan Desa dilarang menjadi pengurus partai politik.
Selain diatur dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, larangan pemerintahan desa dalam kampanye juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu pada pasal 280 ayat 2 huruf (h), (i), dan (j) juncto pasal 72 ayat (4) PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu yaitu pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan kepala desa, perangkat desa dan anggota badan permusyawaratan desa (BPD).
Pada pasal 280 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 72 ayat (5) PKPU No 15/2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum juga disebutkan bahwa setiap orang sebagaimana disebut pada pasal 2 dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu. Ketentuan larangan tersebut juga diatur pada pasal 282 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 73 PKPU No 15/2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum yang berbunyi pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam negeri serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Sanksi terhadap pemerintahan desa yang melanggar larangan dalam politik praktis dan kampanye diatur pada pasal 30 ayat (1) yang berbunyi kepala desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 dikenai sanksi administrasi berupa teguran tertulis. 30 ayat (2) Dalam hal sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Pasal 52 ayat (1) yang berbunyi perangkat desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 51 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. Pasal 52 ayat (2) Dalam hal sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Disamping terdapat sanksi dari instansi pemerintahan tersebut, pelanggaran terhadap larangan pemerintahan desa dalam kampanye juga ada sanksi pidananya, yaitu yang diatur pada pasal 490 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 yang berbunyi setiap kepala desa atau sebutan lain dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Pasal 494 yang berbunyi setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, perangkat desa, dan/atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Tidak hanya pemerintahan desa yang akan dikenai sanksi pidana terhadap larangan ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye tersebut, pelaksana dan/atau tim kampanye juga dilarang mengikutsertakan pemerintahan desa dan akan dikenai sanksi pidana jika terbukti melakukan tindakan tersebut.
Ketentuan larangan tersebut terdapat pada pasal 280 ayat (2) UU No 7/2017 tentang Pemilu juncto pasal 72 ayat (4) PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu yang berbunyi Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan: huruf (h) kepala desa, huruf (i) perangkat desa (j) badan permusyawaratan desa. Kemudian aturan terkait sanksi pidananya terdapat pada pasal pasal 493 UU No 7/2017 tentang Pemilu yang berbunyi Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Disamping itu, penyebab masih terdapatnya pemerintahan desa yang melanggar larangan berpolitik praktis dan terlibat dalam kampanye tersebut karena dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, sanksi yang diberikan tersebut dinilai masih kurang tegas. Kepala desa dan perangkat desa yang melanggar larangan tersebut hanya diberikan sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau tertulis. Jika Bupati atau Walikota sudah memberikan sanksi teguran lisan kepada Kepala desa dan perangkat desa yang melanggar larangan tersebut dan diindahkan maka tidak ada sanksi lain yang akan membuat jera pemerintahan desa yang melakukan pelanggaran tersebut.
Upaya pencegahan perlu dilakukan agar pelanggaran netralitas pemerintahan desa ini bisa diminimalisir atau bahkan sama sekali tidak terjadi lagi untuk kedepannya. Pertama dengan gencar menyampaikan sosialisasi terkait peraturan perundang-undangan yang melarang dan mengatur sanksi pidana yang akan dikenakan pada yang bersangkutan jika melakukan pelanggaran larangan tersebut. Kedua dibutuhkan pengawasan partisipatif masyarakat dan berbagai pihak untuk mengawasi netralitas pemerintahan desa atau nagari dalam berpolitik praktis dan kegiatan kampanye.
Selama tahapan kampanye, penyelenggara Pemilu harus memastikan tidak ada pemerintahan desa atau nagari yang ikut serta dalam kegiatan kampanye tersebut. Selain itu, aturan mengenai ketentuan larangan dan sanksi yang tegas juga sangat dibutuhkan agar menimbulkan efek jera bagi pemerintahan desa yang melanggar larangan dalam kampanye tersebut. Dengan kata lain, kepastian hukum terhadap ketentuan larangan dan saksi harus jelas dan bisa diterapkan 100 (seratus ) % dalam praktiknya di lapangan. (*)