sumbarmadani.com – Gempa bumi merupakan bencana yang tidak dapat ditolak, dan tidak dapat dicegah terjadinya. Gempa bumi tidak dapat dihindari, tapi harus siap siaga untuk menghadapinya. Pulau Lombok merupakan salah satu daerah yang rawan dengan bencana gempa. Anak dengan kebutuhan khusus, tunagrahita, merupakan salah satu kelompok yang harus diedukasi tentang kesiapsiagaan ini secara serius, melalui permainan, agar mereka tidak menjadi korban dari bencana tersebut. (Abstrak)
Penelitian tindakan ini dilakukan melalui 5 siklus yang masing-masing terdiri dari tahap perencanaan, tindakan, observasi, evaluasi dan refleksi. Analisis dilakukan secara kualitatif. Subjek penelitian terdiri dari 11 anak tuna grahita, 4 anak down sindrom, 2 anak dengan IQ 80, 1 anak sangat pemalu, 2 masih ileran dan 2 anak yang pendiam
Hasil penelitian menunjukkan 5 anak sudah dapat melakukan penyelamatan secara mandiri, 2 orang berusaha membantu temannya, sementara yang lain hanya menunjuk bawah meja tempat persembunyian dan justru tertawa melihat temannya dan asyik bermain dengan maket. Kesimpulan bahwa bermain maket dapat meningkatkan kesiapsiagaan terhadap gempa pada anak tuna grahita. Anak dengan ketunagrahitaan lebih rendah, ditemukan lebih cepat menerima pemahaman dan dapat melakukan simulasi lebih cepat daripada anak dengan ketunaan yang lebih tinggi. Disarankan pada guru untuk melakukan permainan dengan benda konkrit dan berulang-ulang untuk dapat meningkatkan kesiapsiagaan terhadap gempa bumi pada anak usia dini, terutama pada anak dengan kebutuhan khusus, tuna grahita.
Kata kunci : gempa bumi, kesiapsiagaan bencana, anak tunagrahita
Pendahuluan
Gempa bumi berkekuatan 6,4 SR melanda Pulau Lombok pada 29 Juli 2018. Gempa ini merupakan rangkaian awal dari gempa-gempa setelahnya yang bermagnitudo lebih besar. Pada 5 Agustus 2018 kembali gempa mengguncang pulau Lombok dan sekitarnya dengan 7,0 SR. Kemudian disusul dengan gempa-gempa lebih kecil yang tak terhitung jumlahnya. Hal ini terjadi hingga 4 atau 5 bulan setelah itu. Hal ini menunjukkan bahwasanya Lombok adalah salah satu pulau yang rawan gempa bumi.
Dampak dari gempa memporak porandakan pulau Lombok, terutama daerah sekitar pusat gempa, yaitu Lombok bagian utara. Yang termasuk di wilayah ini adalah Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok TImur bagian utara, dan Kabupaten Lombok Barat bagian utara, serta Kabupaten Lombok Tengah bagian utara. Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sedikitnya 10.062 rumah rusak, 20 orang meninggal dunia dan 401 orang mengalami luka-luka. Selain menelan korban jiwa, juga menghancurkan sebagian besar infrastruktur, permukiman, bangunan-bangunan pendidikan, kesehatan, keamanan, sosial, dan ekonomi, serta mempengaruhi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, termasuk kondisi psikologis dan tingkat kesejahteraan.
Salah satu kelompok yang paling rentan terdampak bencana alam adalah anak-anak. Mereka mengalami kejadian yang sangat traumatis dan mengerikan akibat bencana tersebut. Pemukiman porak poranda, sekolah dan pemukimannya hancur, trauma akan goyangan gempa itu sendiri mangakibatkan stress dan trauma. Apalagi jika mereka harus kehilangan orang tua atau orang yang disayanginya.
Trauma dan stress ini terlebih-lebih dialami juga oleh anak berkebutuhan khusus, karena mereka masih sangat tergantung pada orang dewasa yang mengasuhnya. Mungkin mereka tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Apalagi harus bagaimana yang akan dilakukannya jika terjadi seperti itu lagi. Trauma dan stress ini dapat berdampak buruk bagi perkembangan mental dan sosialnya. Di tambah lagi, dalam situasi pasca bencana kehidupan yang serba darurat sering membuat orangtua kehilangan kontrol atas pengasuhan dan bimbingan terhadap anak-anak mereka. Keadaan ini dapat mengancam perkembangan mental, moral dan sosial anak.
Pengalaman trauma yang dialami anak-anak korban gempa tersebut harus segera diatasi, agar tidak berkepanjangan dan berakibat sampai mereka dewasa. Untuk itu banyak pihak melakukan trauma healing (penyembuhan trauma) dengan berbagai cara. Trauma healing dilakukan dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan melalui bermain, memberikan bingkisan, dan sebagainya. Namun trauma healing pada anak-anak ini sifatnya sesaat. Ketika gempa mengguncang kembali, anak akan mengalami stress dan trauma kembali.
Yang dibutuhkan oleh anak-anak adalah kesiapsiagaan menghadapi bencana, terutama gempa bumi karena pulau Lombok adalah pulau yang rawan terjadinya gempa. Oleh karena itu anak-anak harus dilatih untuk melakukan penyelamatan diri menghadapi bencana itu. Terlebih-lebih pada anak yang berkebutuhan khusus.
Berdasarkan kondisi itulah penulis mencoba melakukan pembelajaran dengan tujuan membekali anak akan pengetahuan, kesiapsiagaan, dan keterampilan terhadap gempa bumi pada anak berkebutuhan khusus. Prinsip pembelajaran anak usia dini, tidak terkecuali anak kebutuhan khusus adalah belajar melalui bermain. Dengan bermain anak merasa senang, dan tanpa disadari olehnya mereka sekaligus sedang belajar. Bermain dapat menstimulasi seluruh aspek perkembangan anak dengan lebih optimal dibandingkan dengan cara lain. Pembelajaran yang dilakukan terhadap anak berkebutuhan khusus harus harus dilakukan berulang-ulang, menggunakan media yang konkrit, dan dalam suasana yang menyenangkan. Oleh karena itu penerapan pembelajaran yang dilakukan menggunakan benda yang konkrit, yaitu Maket. Pembelajaran ini penulis menyebutnya dengan Pembelajaran Mama (Bermain Maket).
Maket yang digunakan adalah maket yang mirip dengan kondisi sekolah mereka, yaitu Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Mataram. Menggunakan maket ini dimaksudkan agar anak secara aktif terlibat dengan lingkungan, sehingga dapat lebih mudah memahami dan sekaligus menerapkannya untuk proses latihan evakuasi.
Selanjutnya, dengan pembelajaran menggunakan maket yang optimal, maka di samping kesiapsiagaan terhadap bencana yang dapat dicapai oleh anak berkebutuhan khusus tapi juga pengembangan pada aspek-aspek lain, yaitu aspek motorik, bahasa, kognitif, sosial emosi, dan nilai dan norma.
Anak Usia Dini Dengan Kebutuhan Khusus
Masa usia dini yang berada 0 – 6 tahun disebut sebagai ‘golden age”, karena masa ini sangat menentukan perkembangan mereka selanjutnya sampai dewasa baik dari segi fisik, mental maupun kecerdasan (Jamaris, 2013). Tentu saja ada banyak faktor yang akan sangat mempengaruhi mereka dalam perjalanan mereka menuju kedewasaan, tetapi apa yang mereka dapat dan apa yang diajarkan pada mereka pada usia dini akan tetap membekas dan bahkan memiliki pengaruh dominan dalam mereka menentukan setiap pilihan dan langkah hidup.
Hal demikian juga terjadi untuk anak dengan kebutuhan khusus. Yang berbeda adalah rentang usianya. Untuk anak kebutuhan khusus rentang usia itu tidak berakhir pada 6 tahun, tapi tergantung dari tingkat keABKannya. Mungkin saja usia biologisnya 6 tahun, namun usia perkembangannya berada pada 2 atau 3 tahun. Pendekatan yang dilakukan terhadap anak kebutuhan khusus ini juga kurang lebih sama dengan anak lainnya, yaitu belajar melalui bermain.
Seperti halnya pada anak usia dini yang lain, anak yang berkebutuhan khusus inipun masih berada pada masa yang konkrit. Anak-anak sangat sulit untuk memahami suatu cerita jika hanya melalui kata-kata secara oral. Maka untuk mempermudah penjelasan, guru menggunakan alat permainan edukatif sebagai media untuk bercerita dan alat untuk anak mengeksplor kegiatan mainnya (Hughes, 2010).
Anak-anak tunagrahita umumnya punya kesulitan fungsi intelektual. Misalnya sulit berkomunikasi, belajar serta sulit untuk memecahkan masalah. Beberapa ciri yang bisa tampak dari anak degan kondisi tunagrahita antara lain: (1) duduk, merangkak dan berjalan lebih lambat dari anak lainnya,(2) mengalami kesulitan berbicara,(3)memiliki kesulitan memahami aturan sosial,(4) memiliki kesulitan mengendalikan sikap atau gerakannya,(5) sulit memecahkan masalah dan (6) sulit berfikir logis. (Https://he llosehat.com/parenting/kesehatan-anak/ciri-ciri-anak-tuna-grahita/)
Bermain
Prinsip pembelajaran anak usia dini, tidak terkecuali anak kebutuhan khusus adalah belajar melalui bermain. Dengan bermain anak merasa senang, dan tanpa disadari olehnya mereka sekaligus sedang belajar (Mutiah, 2010). Bermain dapat menstimulasi seluruh aspek perkembangan anak dengan lebih optimal dibandingkan dengan cara lain. Bermain untuk anak usia dini harus disesuaikan dengan kebutuhan perkembangannya. Pembelajaran yang dilakukan harus harus dilakukan berulang-ulang, menggunakan media yang konkrit, dan dalam suasana yang menyenangkan. Apalagi bila dilakukan terhadap anak berkebutuhan khusus, tunagrahita.
Bermain Maket
Pada hakekatnya anak belajar sambil bermain, oleh karena itu pembelajaran pada anak usia dini pada dasarnya adalah bermain. Sesuai dengan karakteristik anak usia dini yang bersifat aktif dalam melakukan berbagai eksplorasi terhadap lingkungannya, maka aktifitas bermain merupakan bagian dari proses pembelajaran.
Bermain merupakan setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan secara sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar atau kewajiban (Hurlock, 1997). Bagi anak usia dini, bermain adalah fundamental, sebab bermain mengarahkan pada perkembangan anak (Judith van Hoorn, 2007). Dengan bermain anak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan potensi dan imajinasinya, memberi kesempatan anak berkembang secara utuh, menggunakan seluruh panca indera dan fisiknya sehingga terlatih dengan baik, yang kemudian mensimulasi untuk perkembangan pada aspek yang lain, dan melatih konsentrasi anak, karena ketika anak bermain sesuatu yang menyenangkan bagi dirinya, maka ia akan asyik melakukan hal tersebut, tanpa dapat diganggu oleh hal-hal yang lain.
Salah satu permainan anak adalah bermain maket. Maket adalah sebuah bentuk tiga dimensi yang merupakan bentuk tiruan dari sebuah benda atau objek, seperti (gedung, kapal, sekolah, rumah dll) yang dibuat dalam skala yang lebih kecil, biasanya dibuat dari kayu, kertas, tanah liat dsb. Fungsi maket adalah untuk mendeskripsikan sebuah keadaan dalam suatu lingkungan dalam skala yang lebih kecil, media visualisasi sebuah desain, dan alat bantu dalam mempersentasikan sebuah desain yang akan direalisasikan atau diwujudkan.
Pembelajaran Bermain maket (Mama) diterapkan pada anak kebutuhan khusus untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana, khususnya gempa bumi. Tujuannya adalah melatih anak agar anak lebih tenang, mengetahui situasi lingkungan dengan lebih baik, melatih proses penyelamatan diri sendiri dan evakuasi korban saat terjadinya bencana gempa bumi.
Kesiapsiagaan bencana
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna ( UU RI No.24 Tahun 2017).
Kesiapsiagaan bencana dilakukan untuk meminimalkan resiko bencana saat bencana itu terjadi. Perilaku yang ditunjukkan peserta didik saat bencana terjadi sangat bervariasi. Pernah gempa terjadi saat jam belajar di sekolah, ada yang memang paham kalau gempa terjadi kemudian panik, berteriak, ada juga yang tidak paham, hanya duduk diam menunggu guru membawa keluar, ada yang berteriak gempa namun tidak melakukan apapun, ada anak yang ketika sudah di lapangan kemudian menceritakan kembali saat gempa terjadi.
Metodologi
Penelitan ini merupakan penelitian tindakan, dengan menerapkan pembelajaran melalui bermain maket untuk meningkatkan pemahaman tentang kesiapsiagaan bencana pada anak tunagrahita di kelas 1 SLB Negeri 1 Mataram. Subjeknya terdiri dari 11 anak, ada 4 anak down sindrom, 2 anak dengan IQ 80, 1 anak sangat pemalu, 2 masih ileran dan 2 anak yang pendiam. Penelitian ini dilakukan 5 siklus, yang masing-masing terdiri dari tahap perencanaan, tindakan, observasi, evaluasi dan refleksi (Mulyasa, 2011). Analisis dilakukan secara kualitatif.
Penerapan Pembelajaran Mama (Bermain Maket) di SLB Negeri 1 Mataram
Maket yang digunakan sangat sederhana. Menggunakan kardus sebagai alasnya, di atas kardus dipasangkan rumput dan pohon-pohon dari kertas origami dan beberapa balok dari kayu, dan miniatur bangunan dari besi (celengan berbentuk rumah yang diisi beberapa uang logam).
Pada siklus pertama, kegiatan diawali dengan guru melakukan komunikasi pembuka kepada peserta didik, mengembangkan kosa kata agar peserta didik lebih banyak tahu kosakata baru, diskusi gagasan pengalaman main, dan membangun aturan main. Proses kedua pada kegiatan inti peserta didik melihat, menamai, menanyakan, guru memancing gagasan peserta didik dan bermain peran. Proses terakhir pada kegiatan penutup yaitu membereskan alat main, menanyakan perasaan anak, menanyakan kegiatan yang sudah dilakukan, memberi pujian dan menghubungkan kegiatan yang akan datang.
Saat pembelajaran di kelas, guru mengawali dengan memberi salam, menyapa peserta didik satu persatu, menanyakan keadaan agar peserta didik menceritakan tentang kegiatan dari bangun pagi sampai tiba di sekolah dengan gaya bahasa mereka masing-masing. Cerita sederhana seperti ini dilakukan setiap hari dengan tujuan untuk dapat meningkatkan komunikasi peserta didik, menambah kosakata baru dan melatih keberanian mereka. Guru kemudian mengajak peserta didik berdiskusi tentang pengalaman mereka saat simulasi gempa yang dilaksanakan beberapa waktu lalu di SLBN 1 Mataram kemudian guru memberikan aturan dalam bermain Maket. Pada kegiatan inti peserta didik melihat Maket yang belum terpasang, kemudian mereka mulai membuat maket sekolah secara bersama-sama dan mulai memainkan peran masing-masing. Saat proses pembelajaran berlangsung, ada beberapa peserta didik yang hanya duduk diam, ada yang memegang balok lalu membuangnya, ada yang aktif membuat maket, ada yang berlarian mengelilingi kelas dan ada yang asyik sendiri memainkan baloknya.
Guru kemudian menggoyang-goyangkan meja tanda bahwa gempa terjadi, kemudian peserta didik mulai berlarian, ada 2 anak yang langsung sembunyi di kolong meja, ada yang tetap duduk diam di bangkunya, ada yang tertawa dan ada yang tetap asyik dengan baloknya. Pada saat itu, ada anak yang menarik langsung temannya untuk sembunyi di kolong meja, ada anak yang hanya duduk diam di kursi namun melindungi kepala menggunakan kedua tangannya, ada anak yang tetap berkeliling berjalan mengelilingi kelas sambil mengatakan gempa, ada anak yang tetap tidak perduli dengan proses pembelajaran. Guru kemudian memberikan intruksi kepada semua peserta didik untuk kembali ketempat semula.
Semua peserta didik mulai membereskan kembali mainannya, kemudian meletakkan pada tempat semula. Guru mulai menanyakan bagaimana perasaan mereka setelah bermain peran menggunakan maket, beragam jawaban mereka, ada yang senang, ada yang takuut dan ada yang diam saja Guru menanyakan kembali apa kegiatan yang sudah dilakukan, ada 2 peserta didik yang dapat menjawab dan menceritakan secara sederhana tentang pembelajaran bermain maket sampai proses mereka sembunyi di kolong meja, ada anak yang hanya menunjuk kolong meja sambil tertawa, ada anak yang meniru ucapan guru ketika ditanya dan anak yang lain hanya diam sambil memperhatikan situasi di kelas. dan terakhir guru menutup kegiatan pembelajaran dengan memberikan pujian kepada peserta didik.
Siklus kedua dan ketiga dilakukan seperti pada siklus pertama, karena perubahan ketika pembelajran berlangsung tidak terlalu banyak. Kegiatan tersebut harus dilakukan berulang-ulang, mengingat anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti tuna grahita memang lebih lambat dalam menerima informasi. Setiap informasi dan kegiatan harus diulang-ulang berkali-kali.
Pada siklus ketiga, perkembangan mulai tampak. Ada 3 anak yang dapat menceritakan kegiatan mereka di kegiatan penutup, dan 3 anak tersebut dapat melakukan perilaku yang dianjurkan untuk bersembunyi di bawah meja ketika terjadi gempa dalam simulasi. Sementara yang lain masih belum focus untuk melaksanakan perilaku yang diharapkan.
Pada siklus keempat sampai kelima seperti pada kegiatan sebelumnya, kegiatan diawali dengan guru melakukan komunikasi pembuka kepada peserta didik, mengembangkan kosa kata agar peserta didik lebih banyak tahu kosakata baru, diskusi gagasan pengalaman main. Kemudian guru juga mengajak anak untuk mengingat kembali proses pembelajaran tentang gempa yang sudah dilakukan sebelumnya. Apa saja yang harus dilakukan ketika gempa terjadi, bagaimana tindakan penyelamatan ketika ada gempa. Pada siklus ini peserta didik melihat, menamai, menanyakan, guru memancing gagasan peserta didik dan bermain peran. Mereka tampak mulai aktif menanyakan, menjawab, dan menceritakan kembali tentang pengalaman pada pembelajaran sebelumnya. Aturan mainpun juga diulang-ulang. Hal serupa terus dilakukan, mengingat keterbatasan pada peserta didik.
Pada kegiatan inti peserta didik melihat Maket yang belum terpasang, kemudian mereka mulai membuat maket sekolah secara bersama-sama dan mulai memainkan peran masing-masing. Saat proses pembelajaran berlangsung, peserta didik sudah mulai aktif ikut memasang maket walaupun masih ada satu siswa yang membuang mainan, sudah mulai mau bekerja bersama-sama membuat maket. Setiap kali membuat maket, bentuk dan posisi tidak pernah sama, ini karena mereka menuangkan karya imajinasi dan kreativitasnya. Saaat mereka selesai membuat maket, kemudian mereka bermain peran sederhana kemudian guru menggoyang-goyangkan maket dan meja serta membunyikan alarm tanda gempa terjadi melalui telpon seluler, kemudian ada 5 anak yang langsung sembunyi di bawah meja, 2 anak berusahan membantu temannya untuk bersembunyi di bawah meja, karena ia hanya menunjuk kolong meja sambil tertawa. Ada anak yang hanya meniru ucapan guru untuk bersembunyi tapi tidak melaksanakannya, hanya diam sambil memperhatikan situasi di kelas. Sementara anak dengan tingkat ketunaan yang lebih tinggi malah tertawa dan tetap asyik dengan baloknya.
Proses terakhir pada kegiatan penutup yaitu membereskan alat main, menanyakan perasaan anak, menanyakan kegiatan yang sudah dilakukan, memberi pujian dan menghubungkan kegiatan yang akan datang. Tanpa menjawab dengan kata-kata, anak tampak gembira dengan kegiatan bermain maket ini. Bahkan ada satu anak yang berkata, “Besok lagi ya bu”.
Pembahasan
Dari simulasi yang sudah dilakukan selama beberapa kali siklus, anak berkebutuhan khusus juga memperoleh kesempatan untuk dapat memahami apa itu gempa, apa saja yang harus dilakukan ketika gempa itu terjadi, dan kemandiriannya untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Simulasi yang dilakukan dengan bermain maket dilakukan untuk memberi pemahaman anak tentang gempa dan apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri ketika terjadinya gempa melalui praktek. Dengan bermain berulang—ulang dan menggunakan maket, secara tidak langsung mereka dapat memahami apa itu gempa dan apa saja yang harus dilakukan ketika gempa datang. Hal ini dapat meminimalkan resiko terutama panik ketika gempa terjadi.
Bermain maket sebagai salah satu cara yang dapat diterapkan untuk pembelajaran simulasi gempa karena selain bahannya yang mudah ditemukan, bermain maket juga sangat menyenangkan bagi anak, mereka bisa berekspresi saat memainkan peran mereka. Maket merupakan media konkrit yang dapat membantu anak untuk memahami apa itu gempa. Dengan maket ini, anak menganalogikan dan mengingat kejadian gempa yang pernah mereka rasakan. Dengan maket ini pula, anak dapat melakukan kegiatan bermainnya, dengan menyusun balok dan miniatur bangunan.
Bermain yang sama dilakukan berulang-ulang dimaksudkan untuk memperkuat pemahaman dan praktik yang dilakukannya. Apalagi untuk anak dengan kebutuhan khusus. Terbukti pada siklus ke lima, 5 anak sudah dapat melakukan penyelamatan diri dengan bersembunyi di bawah meja. Malah 2 anak berusaha membantu temannya. Sementara anak dengan tingkat ketunaan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat merespon terjadinya gempa.
Dengan bermain maket yang menyenangkan, anak belajar banyak hal. Bukan hanya terkait gempa, tapi juga telah mengembangkan kreativitas dan kerjasamanya dalam menyusun maket, mengembangkan empati anak untuk menolong atau membantu temannya untuk menyelamatkan diri, juga mengembangkan motoriknya. Berdasarkan penelitian tindakan yang dilakukan terbukti bahwa bermain dapat mengembangkan hampir seluruh aspek perkembangan anak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bermain yang menyenangkan dapat menstimulasi aspek-aspek perkembangan anak usia dini. Hal ini sesuai dengan karakter dan kebutuhan perkembangan anak usia dini, dimana dunianya adalah dunia bermain. Bermain dengan menggunakan benda konkrit. Dapat dengan benda yang sesungguhnya, atau menggunakan benda yang mewakili benda sesungguhnya.
Kesimpulan
Kesiapsiagaan bencana, terutama gempa bumi perlu diberikan pada anak usia dini, agar ketika terjadi bencana tersebut anak tidak panik dan dapat mandiri membantu dirinya sendiri. Apalagi untuk anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Penelitian tindakan ini membuktikan bahwa bermain maket, dapat meningkatkan kesiapsiagaan bencana pada anak berkebutuhan khusus, utamanya anak-anak dengan ketunaan grahita. Hasil penelitian tindakan dengan lima siklus ini menunjukkan bahwa anak dengan ketunaan lebih tinggi dapat memperoleh kesiapsiagaan bencana ini lebih rendah. Mereka membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan anak dengan ketunaan yang rendah.
Daftar Pustaka
Hoorn, V. Judith, et. all, Play at the Center of the Curriculum, Canada: Pearson Education, 2007
Hughes, F. Fergus, Children, Play, and Development, 4nd ed., Sage Publications Inc, USA, 2010
Hurlock, B. Elizabeth, Child Development 6thEd. (terjemahan Perkembangan Anak oleh Meitasari Tjandrasa, dkk) Penerbit Erlangga, Jakarta, 1997
Jamaris, Martini, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Bogor, Penerbit Ghalia, 2013
Mutiah, Diana, Psikologi BermainAnak Usia Dini, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010
Mulyasa, HE, Praktik Penelitian Tindakan Kelas, cetakan ke 4, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2011
https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/ciri-ciri-anak-tuna-grahita/
Penulis : RIANAH, S.Pd Guru SLBN 1 Mataram