Ilustrasi Internet
Perbedaan adalah rahmah bagi semseta, begitu juga dengan pemimpin, pemimpin yang berkarakter akan lahir dari generasi yang baik spiritual, emosional dan karakternya.
Perdebatan di media sosial atau ruang publik tidak melulu soal siapa presiden dan wakil presiden nanti. Lebih dari itu, pembicaraan bisa saja dimulai dari hal yang paling sederhana. Hari ini siapa yang akan ditolong, apakah orang tua, anak terlantar atau fakir miskin.
Sama halnya dengan perdebatan, siapa presiden dan wakil presiden nanti. Perdebatan di sini bisa lebih panas dan agresif, tergantung sejauh mana perdebatan dapat dibuktikan dengan aksi nyata. Memang perdebatan dalam konteks ini tidak mungkin terjadi, akan tetapi setidaknya menggambarkan kondisi hari ini. Lantaran berbeda pilihan terhadap capres dan cawapres kedepan, hubungan emosional antara satu sama lain menjadi renggang.
Ironis memang, namun itu kondisinya. Ini bukan hanya dialami oleh masyarakat awam, tetapi juga merambak dikalangan intelektual. Namun tentu cara pandangnya pun tentu berbeda dengan masyarakat banyak, intelektual lebih kepada rasio namun juga kadang sabjektif.
Di atas mobil, penumpang membicarakan hal yang sama, siapa presiden dan wakil presiden kedepan. Cerita bisa dimulai dari silsilah keturunan calon, apakah terlibat atau tidak dengan partai terlarang. Awalnya hanya sekedar bercerita untuk menghilangkan rasa ngantuk, namun kadang bisa berlanjut dengan nada tinggi antar pendukung.
Syukur-syukur dalam mobil hanya satu pendukung, semua bebas berekspresi tanpa ada tekanan. Membicarakan semua keburukan calon yang tidak disenangi itu hal yang lumrah, namun kondisinya bisa berubah jika sewaktu-waktu pendukung lain juga berada dalam mobil yang sama. Ada yang merasa dipermalukan, bahkan emosi lantaran calon presiden yang didukung dikritik oleh penumpang lain.
Persoalan belum usai, emosi yang belum tersalurkan di atas mobil akan ditularkan kepada komunitas yang lain. Ya, bisa saja cara penyampaiannya lebih heroik dari kejadian sebenarnya. Nah, begitulah kekuatan politik, tanpa disadari semua bisa lupa, pendukung salah satu calon bisa emosi bahkan hilang nalar ketika calon presiden yang mereka dukung dikritik atau dicaci-maki oleh pendukung lain.
Akibatnya, semua yang dicitrakan oleh media dianggap benar sepanjang tidak merugikan calon yang didukung. Atau malah sebaliknya akan ditentang habis-habisan. Sesuai undang-undang, Pilpres berlangsung lima tahun sekali, artinya setiap lima tahun akan ada caci-maki, fitnah dan anekdot untuk membully lawan politik.
Tulisan ini tidak mengajak pembaca untuk antipati terhadap jalannya pesta demokrasi. Bukan juga mengajak pembaca menjadi golongan putih yang radikal. Jauh dari itu, adalah bagaimana semua komponen masyarakat berperan dalam mengawasi jalannya pesta demokrasi.
Pertarungan politik terbilang cukup panas, lebih lagi setelah Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta diperiksa oleh Bawaslu lantaran mengacungkan ibu jari dan jari telunjuk dianggap sebagai simbol pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Peristiwa ini sempat memanas di media soal, berbagai tanggapan bermunculan bahkan ada yang mempertanyakan netralitas Bawaslu, karena dinilai cendrung berpihak kepada calon lain. Beberapa akun Facebook malah berisi ajakan untuk turun ke jalan jika seandainya hukum tidak berpihak kepada Anies Baswedan.
Namun begitu, jauh dipelosok negeri masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui tahapan Pemilu, Hiruk-pikuk politik tidak sampai ke daerah mereka, apakah sudah terdaftar sebagai pemilih atau tidak, mereka tidak tahu. Belum lagi siapa calon legislatif yang akan mereka pilih.
Patutnya, ini menjadi persoalan bersama, dari pada saling membully, fitnah, caci maki di media sosial. Kaum marjinal perlu diperhatikan, sesekali berikan pendidikan politik bagi mereka, siapa yang akan mereka pilih itu hal yang lain.
Sebagai penutup tentunya, perdebatan di ruang publik dan sosial media bisa disalurkan kepada hal-hal yang lebih bermanfaat, setidaknya ini dapat membantu penyelenggara dan pengawas Pemilu untuk memenuhi target partisipasi pemilih mencapai 77,5 persen secara nasional.
Oleh: Fadhil, Penggiat LSM Pakan Madani