Sumbarmadani.com-Menjelang masuknya tahapan Kampanye Pemilu 2024 perlu adanya antisipasi melibatkan anak-anak dalam kegiatan kampanye pemilu, karena melibatkan anak-anak dalam kegiatan kampanye tumbuh menjadi fenomena yang berulang setiap 5 tahun, berkaca dari evaluasi Pemilu pada tahun 2019, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memaparkan bahwa setidaknya terdapat 56 kasus dugaan mem-perlibatkan anak-anak dalam kegiatan kampanye.
Berdasarkan Pengawasan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) selama proses pemilu 2019 berlangsung, ditemukan sebanyak 55 kasus yang melibatkan anak di dalam sebuah kampanye pemilihan umum. KPAI menyatakan setidaknya ada 15 modus pelanggaran kampanye pemilihan umum Tahun 2019 lalu, antara lain: (1) Memanipulasi data anak yang belum berusia 17 tahun dan belum menikah agar bisa didaftar menjadi pemilih; (2) Menggunakan tempat bermain anak, tempat penitipan anak, dan tempat pendidikan untuk kegiatan kampanye terbuka; (3) Memobilisasi massa anak oleh parpol atau caleg;
(4) Menggunakan anak sebagai penganjur atau juru kampanye untuk memilih partai atau caleg tertentu; (5) Menampilkan anak sebagai bintang utama dari suatu iklan politik; (6) Menampilkan anak di atas panggung kampanye parpol dalam bentuk hiburan; (7) Menggunakan anak untuk memasang atribut-atribut parpol; (8) Menggunakan anak untuk melakukan pembayaran kepada pemilih desa dalam praktik politik uang oleh parpol atau caleg; (9) Mempersenjatai anak atau memberikan benda tertentu yang membahayakan dirinya atau orang lain; (10) Memaksa, membujuk, atau merayu anak untuk melakukan hal-hal yang dilarang selama kampanye, pemungutan suara atau penghitungan suara;
(11) Membawa anak ke arena kampanye yang membahayakan anak; (12) Melakukan tindak kekerasan atau yang dapat diartikan sebagai tindak kekerasan dalam kampanye, pemungutan suara, atau penghitungan suara (misal mengecat lambing parpol di bagian tubuh anak); (13) Melakukan pengucilan, penghinaan, intimidasi, atau tindakan-tindakan diskriminatif kepada anak yang orang tua atau keluarganya berbeda atau diduga berbeda pilihan politiknya; (14) Memprovokasi anak untuk memusuhi atau membenci caleg atau parpol tertentu; dan (15) Melibatkan anak dalam sengketa hasil penghitungan suara.
Disamping itu, anak-anak juga cenderung diajak untuk menghadiri kegiatan orasi politik oleh orang tua mereka, dengan dalih tidak ada yang menjaganya di rumah. Tak jarang anak-anak juga ikut dalam kegiatan konvoi di jalanan dan seringkali ugal-ugalan dengan tidak mengindahkan aturan berlalu lintas. Selain itu, juga terdapat adanya anak-anak yang membawa bendera ataupun atribut dari partai tertentu serta ditemukan adakalanya anak yang mukanya sengaja dicoret-coret sesuai dengan warna pilihan partai yang didukung oleh keluarganya, sehingga anak-anak akan terlihat sebagai supporter kecil yang lucu tapi sangar.
Bahkan anak-anak dilibatkan untuk melakukan money politik, dengan menyuruh anak-anak membagi-bagikan amplop dan/atau materi lainnya yang bukan bahan kampanye kerumah-rumah warga tertentu dengan menyelipkan kartu nama atau bahan kampanye berupa stiker di dalam amplop atau bingkisan nya.
Pengaturan dan Resiko melibatkan anak-anak dalam kampanye
Melibatkan anak-anak dalam kegiatan kampanye ini tidak hanya suatu pelanggaran kampanye saja, akan tetapi juga menimbulkan resiko yang dihadapi oleh anak terkait keikutsertaannya dalam kegiatan kampanye tidak hanya masalah jasmani saja, namun juga permasalahan psikologis yang mana anak akan berpengaruh ke dalam psikologis anak hingga dewasa. Oleh karena itu, tindakan mengikutsertakan anak di dalam kegiatan kampanye merupakan tindakan yang tidak tepat dan berbahaya.
Larangan mengikutsertakan anak-anak dalam kegiatan kampanye ini dapat dalam beberapa aturan perundang-undangan;
Pertama, berdasarkan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sejatinya sudah tegas melarang untuk melibatkan anak-anak dalam kegiatan kampanye sebagaimana diatur dalam pasal 280 ayat (2) huruf k Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan pemilu dilarang mengikutsertakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak memiliki hak untuk memilih. Adapun yang dikategorikan sebagai pemilih Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin atau sudah pernah kawin.
Melibatkan anak-anak dalam kegiatan Kampanye ini merupakan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu berdasarkan pada ketentuan Pasal 493 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, disebutkan bahwa “Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilihan Umum yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Kedua, UU Perlindungan anak sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa, “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik”.
Kemudian Sanksinya diatur dalam Pasal 87, apabila terbukti melanggar ketentuan pada Pasal 15 ayat (1) huruf a tersebut, maka bisa digolongkan dalam tindak pidana pelanggaran hak anak atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik dan dapat dihukum dengan hukuman penjara selama 5 tahun serta denda berupa uang sebanyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).
Meskipun sudah dijelaskan bahwa melibatkan anak-anak dalam kampanye pemilihan umum tersebut dilarang, namun masih ada anggapan dari orang tua bahwa pelibatan anak-anak dalam kegiatan kampanye merupakan salah satu cara dalam memberikan pendidikan politik pada anak sejak dini. Akan tetapi sebaiknya harus disesuaikan dengan usia mereka yang masuk ke dalam kategori usia anak, yakni seseorang yang belum berusia 18 tahun. Hal ini dikarenakan tindakan dalam melibatkan anak-anak dalam kampanye pemilihan umum dapat dimaknai sebagai tindakan yang tidak baik bagi pertumbuhan psikologi anak-anak.
Contohnya, terdapat adanya anak yang masih di bawah umur yang menjadi korban dalam kecelakaan lalu lintas ketika turut serta dalam rombongan kampanye di sejumlah daerah. Selain itu, juga ditemukan adanya laporan yang menyebutkan bahwa kampanye sejumlah partai tertentu diwarnai dengan pertunjukan yang bersifat erotis dan dapat dipastikan tidak ramah untuk ditonton oleh anak-anak dan terdapat anak-anak yang dijadikan sebagai bintang dalam iklan kampanye pemilihan umum. Bentuk lain dari melibatkan anak-anak dalam kampanye pemilihan umum adalah pelibatan anak-anak dalam pemakaian atribut dari partai seperti ikat kepala dan kaus kaki oleh anak-anak serta turut membawa bendera partai.
Perlu peran aktif seluruh pihak
Dalam rangka mengantisipasi agar anak-anak tetap dalam perlindungan dan tidak dilibatkan dalam kegiatan kampanye pemilu, tentunya perlu peran aktif pada berbagai pihak seperti;
Pertama, Perlunya peran Pemerintahan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat untuk tidak membawa dan mengikutsertakan anak-anak dalam kegiatan kampanye pemilu. Karena tanggung jawab utama dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat ialah pemerintah dengan segala instrumen yang dimilikinya.
Kedua, Penyelenggara Pemilu dalam hal ini pengawas Pemilu harus secara giat melakukan upaya pencegahan apabila dalam pengawasan ditemukan anaknya peserta kampanye membawa anak dan/atau tim kampanye yang melibatkan anak-anak ini. Serta senantiasa memberikan himbauan atau pemberitahuan kepada seluruh pihak terhadap larangan-larangan dalam kegiatan kampanye pemilu dengan berbagai metode sosialisasi supaya dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Ketiga, Kepatuhan Partai Politik Peserta Pemilu, Pelaksana dan/atau tim kampanye yang ditunjuk mesti mematuhi segala aturan kampanye serta mesti lebih aktif memberikan pendidikan politik kepada masyarakat terutama dalam kegiatan kampanye. Karena sejatinya kegiatan kampanye tidak hanya untuk menyampaikan visi dan misi, meminta dukungan serta menebar janji-janji politik saja kepada masyarakat, akan tetapi juga terdapat tanggung jawab untuk memberikan pencerahan dan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dalam berbagai pandangan.
Keempat, Perlunya peran Guru di sekolah untuk mengingatkan peserta didiknya untuk tidak ikut serta dalam kegiatan kampanye politik, karena guru-guru di sekolah pun mesti mengetahui berkaitan dengan aturan pelarangan untuk anak-anak ini agar mampu memberikan pendidikan politik kepada peserta didiknya.
Kelima, Hal yang lebih penting adalah peran dari orang tua sendiri untuk mengingatkan dan melakukan pengawasan kepada anak-anaknya yang belum cukup umur agar tidak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan kampanye pemilu, bukan malah justru orang tua yang membawa anaknya ikut serta menghadiri kegiatan kampanye pemilu. (*)