Sumbarmadani.com – Isu yang berkembang tentang adanya upaya intoleransi, diskriminasi, dan provokasi berbaur unsur SARA dalam lingkungan kampus Universitas Andalas beberapa hari belakangan menjadi kabar viral. Tak hanya dilingkup Sumatera Barat, isu ini bahkan audah menjadi bahan bacaan yang disuguhkan oleh media-media Nasional, seperti Tempo, Kumparan, dan lain sebagainya.
Isu yang diawali dengan kejadian penghukuman terhadap mahasiswi yang melanggar aturan berpakaian dil ingkungan Asrama Universitas Andalas ini berhasil dinikmati oleh berbagai jurnalis media dan juga organisasi-organisasi mahasiswa yang menilai sebagai tindakan tidak sportif dari pihak Asrama Unand, dalam hal ini adalah para pembina. Alhasil, hampir keseluruhan pihak hari ini menyatakan bahwa tindakan pembina Asrama Unand adalah salah dan mereka layak mendapatkan hukuman penon-aktifan oleh pihak rektorat kampus.
Terkait dengan berbagai prasangka, dugaan, dan isu yang sudah beredar, secara pribadi saya selaku alumni Universitas Andalas dan juga pernah dibina di Asrama Unand pada tahun 2014 tidak ikut serta mengomentarinya. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu disampaikan dalam perspektif berbeda terkait dengan “penggorengan isu” dengan label tagline yang sangat provokatif terhadap kehidupan bersosial di Universitas Andalas, terutama di Asrama.
Sejak awal isu ini beredar, saya enggan untuk berkomentar dikarenakan menganggap ini adalah bagian dari pembinaan terhadap mahasiswa di lingkungan Universitas Andalas. Jangankan di Asrama, di setiap fakultas pun memiliki pola pembinaan yang berbeda-beda. Namun, dikarenakan isu berkembang ke arah yang tidak bagus untuk Universitas Andalas, maka ada beberapa hal yang saya pikir perlu untuk didialektikakan agar isu tidak menjadi liar dan mengalami distorsi yang sangat kental.
Secara jujur, aturan ini bukanlah aturan baru yang diterapkan setelah isu kelompok Islamis garis keras dan/atau kuatnya dominansi pengaruh organisasi mahasiswa Islam di lingkungan kampus Universitas Andalas. Sejak 2014-pun, aturan ini sudah ada bahkan belum berubah sedikitpun redaksinya. Namun, sebagaimana yang kita pahami, kembali saya menyebutkan dengan diksi “penggorengan isu”, maka penggunaan kata intoleransi, diskriminasi, dan tidak sesuai dengan kebhinekaan sangat mudah untuk menjadikan suatu isu menjadi viral. Apalagi dengan judul yang sangat nyentrik menggunakan kata-kata tersebut.
Kalau dipreteli satu per satu dari diksi yang digunakan media dalam menyudutkan Unand atau Asrama Unand secara kelembagaan, maka hemat pikiran saya tidak ada yang sesuai dengan apa yang diaspirasikan. Pertama, kata diskriminasi. Kita rujuk kepada penjelasan diskriminasi yaitu tindakan yang membedakan perlakuan karena didasari pada unsur warna kulit, golongan, suku, ras, dan lain sebagainya. Nah, tentu dalam kasus ini tidak ada terjadi diskriminasi terhadap siapapun. Aturan yang dibuat oleh Pihak Asrama Unand ini sejak awal sudah mengikat bagi siapapun yang menandatangani aturan ini ketika menyatakan kesediaan untuk tinggal dan menetap di Asrama. Artinya, baik dia dari golongan sosial, ekonomi, atau agama apapun, memiliki kewajiban mematuhi aturan ini. Maka dari itu, tidak ada sedikitpun unsur diskriminatif yang terjadi dalam kasus ini.
Kedua, intoleransi. Kembali merujuk pada hakikat makna intoleransi yaitu tidak menggunakan tenggang rasa atau tidak menghargai perasaan orang lain. Nah, dalam konteks ini, pemberian sanksi/hukuman terhadap para pelanggar aturan sudah menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan bersosial. Pun, pihak pembina ataupun para mahasiswa asrama Unand juga sudah secara sadar tanpa ada ikatan menyetujui dan menyepakati aturan bersama yang ditandatangani sejak awal sebelum menjadi bagian dari Asrama Unand. Maka dari itu, dikarenakan atas unsur kesadaran dan tanpa ada paksaan, maka tenggang rasa tersebut sudah sejak awal teradaptifkan oleh setiap pihak, kecuali ada unsur keterpaksaan dalam menandatangani peraturan tersebut.
Maka dari itu, unsur intoleransi juga sangat abstrak untuk dijustifikasikan dalam konteks ini. Nah, jika disampaikan bahwa pihak asrama Unand provokatif dalam hal ini, juga tidak ditemukan provokasi apa yang dipancing oleh pihak Asrama, melainkan dari pihak media-lah yang cenderung memprovokasi isu ini dengan penggunaan tagline provokatif yang memperkeruh titik dialektika dari masalah ini. Maka secara singkat saya menyimpulkan bahwa berbagai tuduhan dan justifikasi terhadap isu ini sangat subjektif dan tidak dialektis. Sehingga jika diteruskan, maka tidak akan hadir pencerahan yang bersifat solutif dan terbuka untuk kebaikan di masa depan.
Namun, ada beberapa catatan yang perlu disampaikan agar lebih bijak menyampaikan informasi kepada publik. Yang pertama, tidak ada keterikatan dan keterkaitan formal antara penggunaan rok dengan non-muslim. Jika rok dikaitkan dengan aturan islam tentang pakaian perempuan, maka diskursus tentang ini harus dihentikan, karena tidak referentif. Semua pihak silahkan membaca bagaimana asal usul penggunaan rok tersebut yang bahkan hari ini sudah menjadi trend dan fashion masyarakat barat yang berjenis kelamin laki-laki.
Jika dikaitkan dengan penggunaan rok adalah untuk muslimah, maka kita sampai hari ini tetap melihat para pelajar di tingkat SD sampai SLTA yang non-muslim tetap memakai rok. Artinya sangat jelas bahwa ini bukanlah unsur SARA jika adanya kewajiban memakai rok di lingkungan Asrama Unand. Perlu untuk diketahui, bahwa secara linear, tindakan kekerasan seksual di lingkungan Asrama Unand sangat terbilang minim, bahkan tidak ada. Terakhir, hanya didengar adanya isu LGBT, dan itupun dari pihak laki-laki.
Jadi, meminta mahasiswi-mahasiswi untuk menggunakan rok tersebut adalah bagian dari perlindungan agar mereka tidak menjadi objek atau sasaran perlakuan pelecehan seksual yang sangat viral hari ini terjadi dimana-mana. Dan saya bisa memprediksi, apabila penggunaan celana bagi perempuan di lingkungan asrama Unand diperbolehkan, maka akan mengundang kesempatan terjadinya perlakuan pelecehan seksual akibat pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuh dari si perempuan tersebut. Ini menjadi poin pertama yang saya sampaikan.
Kedua, aturan berpakaian tersebut hanya berlaku di teritorial asrama. Dahulu, juga banyak para mahasiswi yang menggunakan celana ketika beraktivitas. Akan tetapi, mereka pasti mengganti pakaian ketika sudah berada di Business Centre (BC), yaitu kantin besarnya mahasiswa Unand. Dan itu dilakukan baik ketika mereka mau keluar, ataupun mau masuk ke lingkungan asrama. Hal itu adalah tindakan yang sangat toleran, karena juga menghargai para aparatur Pembina yang setiap hari bertugas tanpa digaji demi menjaga setiap anggota asrama.
Selanjutnya, para mahasiswa baru di Unand mestinya harus lebih kritis dan bijak dalam berteknologi. Tindakan para Pembina yang mensharing video tersebut merupakan bagian dari pembinaan supaya tidak terjadi lagi kedepannya, bukan sebagai pelecehan untuk dijadikan bahan tertawaan atau hinaan. Alhasil, karena kegagapan menggunakan teknologi, berkembang liar-lah kasus ini dan hadir berbagai perspektif-perspektif yang tidak referentif seperti hari ini berkembang.
Poin yang cukup penting juga, saya menegaskan kepada pihak kampus seharusnya tidak ada aturan yang mengharuskan setiap pihak untuk harus tinggal di asrama karena unsur A, B, C, atau D. Asrama Unand itu tempat berkumpulnya para-para pemimpin mahasiswa di Unand. Banyak Presiden Mahasiswa Unand dahulunya juga menjalani pembinaan di Asrama. Semestinya Asrama hanya diperuntukkan bagi mereka yang mau dan bersedia untuk berkomitmen memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Namanya saja “asrama”, tentu akan ada proses pembinaan. Kalau tidak ada, ganti dengan rusun namanya itu. Pun, itu juga menjadi pelajaran pertama bagi setiap mahasiswa baru untuk dewasa, agar memilih dan menentukan pilihan berdasarkan kesadaran dan rasionalitas tinggi untuk membina diri menjadi karakter yang lebih baik.
Jika melonggarkan aturan yang dilakukan, yakin dan percayalah, bahwa tidak hanya perempuan berpakaian bebas yang akan terlihat kedepannya di Asrama Unand, tapi isu seksualitas lain lambat laun juga akan terjadi. Cukup tempat-tempat sepi di kampus Universitas Andalas yang sering kita dengar sebagai tempat “mojok” bagi muda-mudi atau terjadinya aktivitas pelecehan seksual, jangan sampai Asrama yang menjadi tempat pemecah rekor sebagai kaum jamaah terbanyak shalat shubuh tersebut menjadi target terbuka bagi para pelaku pelecehan seksual selanjutnya. Semoga ini menjadi refleksi bersama agar lebih baik kedepannya.
_____________________
Penulis merupakan Alumni Universitas Andalas dan Mahasiswa Asrama Universitas Andalas, M.Syaff 2014.