Sumbarmadani.com – Awal bulan juni, rakyat Indonesia dihebohkan dengan pernyataan Deni Indrayana mengenai diperolehnya bocoran bahwa Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akan memutus Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, mengenai sistem pemilihan umum (pemilu) antara sistem proposional terbuka dengan sistem proporsional tertutup. Seketika pernyataan tersebut dengan sendirinya menggiring opini ditengah-tengah masyarakat mengenai sistem pemilu.
Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kurang lebih 6 bulan lagi menuju Pemungutan Suara 14 Februari 2024. Dan saat ini tahapan yang sedang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu verifikasi Bakal Calon Anggota Legislatif (DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota).
Sejak tahun 1971 sampai dengan 1999 sistem pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup. Kemudian sedikit mengalami perubahan pasca reformasi yaitu Pemilu tahun 2004 dengan sistem proporsional semi terbuka. Hingga sistem proporsional terbuka baru kemudian benar-benar diterapkan pada pemilu tahun 2009, diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 22-24/PUU-VI/2008.
Dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat beragam/heterogen dengan berbagai latar belakang, serta populasi yang cukup padat. Guna menjaga dan menjamin kehidupan berbangsa dan bernegara stabil, maka diperlukan pemimpin (Pemerintah/Wakil Rakyat) yang arif dan bijaksana hingga mampu menjadi representasi dari pluralnya masyarakat Indonesia mulai dari aspek Suku, Agama, Ras, Antar golongan (SARA) hingga secara geografis. Hingga saat ini, cara yang masih efektif untuk mendapatkan pemimpin seperti demikian ialah Pemilihan Umum (General Election).
Sejak Pemilu 2004, pelaksanaan Pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka sehingga dapat dikatakan sebagai antitesa terhadap sistem proporsional tertutup.
Jenis dari sistem pemilihan umum secara umum hanya dibagi menjadi 2 (dua), yaitu single member constituency (sistem distrik) dan multi member constituency (sistem proporsional).
Salah satu sistem pemilu yang digunakan dalam pemilihan umum legislatif di Indonesia adalah sistem proporsional. Gagasan pokok dalam sistem ini adalah proporsi kursi yang dimenangkan oleh suatu partai dalam sebuah wilayah pemilihan akan berbanding seimbang dengan proporsi suara yang diperoleh partai tersebut dalam pemilihannya. Tingkat proporsionalitas suara dalam perolehan kursi menunjukkan bahwa dalam sistem ini tidak banyak suara yang terbuang.
Kemudian, Sistem proporsional memiliki terdiri dari 2 (dua) macam yaitu Proporsional Representation dan Single Transferable Vote.
Baca Juga : “Malicious Prosecution” Pada Sidang Penggabungan Gugatan Ganti Rugi di PN Lubuk Sikaping
Proporsional repsentation system ini dimana partai politik menyiapkan dan menyajikan calon yang jumlahnya lebih banyak dari alokasi kursi yang diperebutkan. Kemudian sistem ini dibedakan menjadi 3 jenis atau variasi yaitu terbuka, tertutup dan bebas.
Varisasi sistem proporsional terbuka yaitu pemilih memilih calon sekaligus partai politik yang diinginkan. Kemudian sistem proporsional tertutup, partai politik yang memenangkan/mendapatkan kursi, maka calon untuk menduduki kursi tersebut ditentukan oleh partai politik tersebut. Dan yang terakhir, sistem proporsional bebas yaitu partai politik menentukan calonnya dan masing-masing calon ditampilkan terpisah pada surat suara.
Indonesia secara keseluruhan dalam pelaksanaan Pemilu condong pada sistem proporsional baik terbuka maupun tertutup. Masing-masing sistem tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan dalam pelaksanaannya.
Jika pernyataan Jimly Asshiddiqie ketika menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengenai sistem proporsional terbuak, menilai penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 diwarnai kekisruhan, akibat penerapan sistem proporsional terbuka. Penyelenggaraan Pemilu 2014 pun dinilai lebih buruk dibanding Pemilu 2009.
Praktek kotor politik merajalelad itengah-tengah masyarakat, penyelenggara pemilu, dan Caleg. Sebab sistem proporsional terbuka mendorong, mau tidak mau, money politics (politik uang) dan kecurangan-kecurangan dalam bentuk lainnya.
Sementara itu, sistem proporsional tertutup bukanlah wahyu suci dari langit yang tanpa noda. Justru, melalui sistem ini pula praktik-praktik money politics dilanggengkan. Setiap pemilihan nomor urut calon legislatif menjadi ajang praktik money politics diinternal partai. Ditambah lagi, munculnya “raja-raja kecil” yang direpresentasikan oleh pemimpin-pemimpin partai politik. Sebagai “raja” di istananya (Parpol), para elite ini memegang peranan yang sangat dominan, terlebih dalam menentukan calon-calon legislatif yang harus diusung oleh rakyat.
Dengan begitu, sistem proporsional baik yang bersifat tertutup maupun terbuka, sama-sama mengundang seluruh elemen yang terlibat dalam politik untuk bermain duit (uang). Agen-agen politik dari level elite sampai grassroot (akar rumput) terdorong untuk memanfaatkan sistem yang dibuat negara sebagai ladang memanen uang (capital). Karenanya, pertanyaan manakah sistem terbaik dari keduanya, guna meminimalisir praktik politik berbiaya tinggi, yang menciderai cita-cita demokrasi, dan memandulkan kritisisme rakyat, adalah pertanyaan yang sangat tidak relevan. Sebab, agen-agen politik (elite maupun rakyat biasa) masih memilih kehendak diri, yang selalu bertujuan dan berubah sesuai perubahan interaksi mereka.
Baca Juga :Bawaslu Mewanti-wanti Peserta Pemilu Bebas Narkoba dan Melakukan Pengawasan Ketat dalam Pencalonan Legislatif: Koordinasi dengan KPU, BNN, dan Kepolisian
Maka, Pemilu sebagai bagian dari usaha mewujudkan kedaulatan berada ditangan rakyat yang guna melahirkan wakil rakyat sebagai representasi sekaligus perpanjangan tangan dan lidah rakyat. Sehingga apa yang dicita-citakan rakyat dan negara dapat terwujud.
Diharapkan adanya kejelian dan kecermatan majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus judicial riview tersebut yang pastinya menimbulkan dampak positif maupun negatif mulai dari ekonomi, peraturan perundang-undangan, hingga proses demokrasi di Indonesia. Tentunya meminimalisir dampak negatif dalam memutus JR tersebut, sehingga proses pelaksanaan tidak terhambat, dan memberikan edukasi politik bagi seluruh rakyat Indonesia.