Sumbarmadani.com – Budaya adalah hasil cipta karya manusia yang menjadi identitas oleh masyarakat sekitar. Dalam rangka melestarikan budaya ditengah arus perkembangan zaman, tanggung jawab menjaga budaya ini adalah pekerjaan seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya pemerintahan daerah, tapi juga masyarakat pada umumnya, para kaum muda, dan juga sejarawan serta Budayawan. Salah satu Budaya yang perlu dilestarikan adalah Tudung Lingkup.
Festival Tudung Lingkung diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jambi di Kecamatan Pelayangan dalam rangka pelestarian budaya setempat supaya selalu diingat dan diketahui oleh generasi penerus. Pada festival ini, perempuan di daerah Pelayangan menggunakan batik asli/kain dari Kota Jambi yang menutupi seluruh tubuh dan wajah. Hal tersebut dimaksudkan sebagai dalam rangka menutupi aurat dari perempuan.
Dahulunya, pakaian yang menutupi aurat tersebut digunakan oleh perempuan setempat saat keluar rumah, pergi ke Sungai Batanghari, ataupun ke agenda-agenda hajatan lainnya. Biasanya, Tudung Lingkup tersebut digunakan oleh ibu-ibu setempat dan para gadis yang ada didesa agar tidak mengundang niat-niatan jahat dari siapapun yabng melihatnya.
Festival yang dilaksanakan di Pelayangan ini disemarakkan oleh sekitar 1.000 ibu-ibu dari seluruh Kecamatan yang ada di Kota Jambi. Festival ini harus dilestarikan karena mengandung nilai yang sangat tinggi akan warisan budaya yang ada di Jambi, selain itu juga menampilkan berbagai tradisi yang sangat unik dan minim diketahui oleh khalayak.
Festival Tudung Lingkup ini juga mengundang para peserta Kenduri Swarnabhumi yang merupakan program dari Kemendikbud Ristek Republik Indonesia. Para peserta tersebut merupakan hasil selesksi dari tim kepanitiaan yang akhirnya bisa memilih 10 orang terbaik dari provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Jambi. Mereka (peserta Kenduri) sejak tanggal 23 Agustus 2022 sudah dilepaskan secara Resmi oleh Bupati Dharmasraya untuk bertolak menuju Jambi dalam rangka kegiatan ini.
Ghita Ramadhayanti, seorang peserta Kenduri Swarnabhumi dari Sumatera Barat mengatakan bahwa Festival ini memberikan arti bahwa perempuan selalu diprioritaskan bahkan sejak zaman dahulu dalam menjaga adab dan marwahnya. Dirinya melanjutkan, “Festival Tudung lingkung ini memiliki kesamaan dengan masyarakat Sumatera Barat yang digunakan oleh Bundo Kanduang ketika keluar rumah atau agenda publik. Selain itu, para Bundo Kanduang juga menggunakan Baju Kuruang Basiba saat ada acara adat,” tambah Ghita.
Menurut Ghita, penggunaan pakaian tradisi Sumatera Barat tersebut memiliki arti yang sangat esensial, agamis, dan filosofis yang sangat tinggi, salah satunya dengan adanya makna filosofis dengan bis garis lurus pada baju kurung basiba yang artinya adalah matrilinieal, yang kita kenal dengan menggunakan suku yang diturunkan dari pihak ibu.
Dengan dilaksanakannya Festival Kenduri Swarnabhumi ini, Ghita berharap seluruh pihak bisa mengingat kembali tradisi dan budaya yang ada di daerah masing-masing agar selalu dilestarikan dan digunakan nilai-nilai yang terdapat dalam budaya tersebut. Pelaksanaan agenda menyusuri Sungai Batanghari juga dianggap Ghita sebagai mewujudkan dan meningkatkan kecintaan semua elemen masyarakat terhadap kondisi sungai yang saat ini sudah rusak oleh ulah tangan semua.
Perlu diketahui juga bahwa rangkaian agenda ini juga diisi dengan menyusuri Sungai Batanghari sepanjang 800 km. Penyusuran tersebut diikuti oleh Tim, Mahasiswa, Arkeolog, Komunitas, Influencer, dan juga para Sejarawan dan Budayawan.
Ghita menambahkan dengan menyuguhkan kepada semua pihak tentang kebudayaan setempat disetiap Kabupaten/Kota yang sangat unik dan menakjubkan, ini merupakan langkah nyata dan bukti kongkret bahwa Indonesia dengan sejuta pesona mempunyai budaya yang sangat luar biasa. “Harapannya, festival ini menjadi kegiatan yang berkelanjutan dan bukan hanya dalam rangka reminder lagi, tapi juga hidup berdampingan sehingga menjadi identitas yang kuat dan melekat, dan juga meningkatkan kembali awareness masyarakat sebagai pelaku utama, walaupun hari ini perkembangan zaman dan teknologi tidak bisa dihindari, hendaknya proses akulturasi Budaya ini bisa menambah kecintaan kita terhadap Budaya dan lingkungan.
—————————————————–
Pewarta adalah Ghita Ramadhayanti, S.E yang merupakan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar.