Sumbarmadani.com-Pelatihan Petani Milenial Angkatan VII (Tujuh) 7-12 Agustus 2022, diselenggarakan UPTD Balai Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian Sumatera Barat di Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Barat, Rabu, (10/8), Bandar Buat, Padang.
Pelatihan telah dimulai semenjak Minggu, 7/8 berlangsung dari pukul 08.00- 22.00 wib, dengan berbagai materi. Jumlah peserta pelatihan angkatan ke VII berjumlah 40 Orang, dan keseluruhan peserta berasal dari Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Materi malam ini bertemakan, “Supply Chain Smart Farming Agroindustri” yang disajikan oleh Dr. Dedet Deperiky seorang peneliti dan dosen yang selama 3 tahun ini telah melakukan model pengembangan kawasan pertanian berbasis supply chain smart farming pada kelompok tani di Kabupaten Solok dan Agam.
Selanjutnya Dedet Deperiky menyampaikan materi dengan judul, “Model Pengembangan Kawasan Industri Pertanian Berbasis Supply Chain Smart Farming dalam Mendukung Model Bisnis Agroindustri”.
Pembukaan materi Dedet menjelaskan “Smart Farming merupakan aplikasi algoritma kecerdasan buatan dalam bidang pertanian. Sebagian proses pertanian maupun bisnis yang dikembangkan melalui basis teknologi”.
Dedet juga menerangkan, “Supply Chain (Rantai Pasok) dan Value Chain (Rantai Nilai) komoditi hortikultura digambarkan dengan angka 1,2,3,4, merupakan petani, angka 5,6,7,8 untuk pedagang, angka 9 pedagang besar/agen, sedangkan 10,11,12 untuk pedagang kecil dan angka 13,14,15 untuk konsumen.
Pada supply chain persedian barang ada tidak lagi bergantung dengan orang lain maupun barang impor, yang intinya menciptakan produk dari hulu sampai ke hilir (ketersedian barang) serta petani harus bisa mandiri dalam penyediaan kebutuhan usaha tani dan tidak ketergantungan pasokan dari luar dalam hal penyediaan benih dan pupuk dalam produksi pertanian.
Study Case yang disampaikan Dedet
Fakta, bahwa permintaan kentang sangat tinggi di Indonesia. Masalahnya pasokan kentang minim dan masih menggunakan cara tradisional. Solusinya ialah menciptakan sebuah prototype untuk pembibitan kentang hingga terpenuhinya permintaan (aeroponik).
Pembibitan benih kentang dengan menggunakan sistem aeroponik menjadikan waktu panen lebih cepat 3 kali dalam 1 tahun. Sedangkan dengan cara konvensional (tanah) 1 kali dalam setahun waktu panennya. Dan akan menghasilkan benih kentang G0, G1 dan G2.
Dengan agro industri, olahan produk kentang menjadi camilan seperti, Keripik Kentang Balado, Keripik Kentang, Potato Chip hingga menghasilkan nilai yang lebih. Serta dengan adanya sistem smart farming (aeroponik) makna kerja petani terbantu.
Sebenarnya secara investasi teknologi ini cukup mahal, namun sangat membantu dan memudahkan petani dalam pengolahan benih kentang itu sendiri. Sehingga fungsi dari teknologi, tepat guna dan tepat sasaran.
Pertanyaan peserta pelatihan:
Pertama, apakah sistem aeroponik pembibitan benih kentang hanya untuk G0 saja? apakah G1 dan G2 tidak bisa?
Dijawab langsung oleh pemateri bahwa sistem aeroponik diperuntukan untuk G0. Karena kita tidak bisa menciptakan planlet kentang. Planlet adalah sekelompok sel yang belum terdiferensiasi/terorganisir (disebut kalus) yang berkembang menjadi tunas, menghasilkan akar dan selanjutnya tumbuh menjadi individu baru.,
Tanaman ini akan tumbuh dan berkembang sampai dapat dipanen hasilnya. Makanya harga perbotol itu Rp 35.000. Dan planlet ini hanya dihasilkan oleh hasil inkubasi penelitian Perguruan Tinggi atau perusahaan yang sudah memiliki sertifikasi dari pemerintah.
Kedua, apakah hasil dari kentang dengan sistem aeroponik tersebut layak untuk konsumsi?
Langsung dijawab pemateri, bahwa hasil dari sistem aeroponik adalah benih, bukan untuk dikonsumsi, namun akan dilanjutkan Kembali ke pada Fase G1, G2 dan G3 yang sudah diuji semuanya sesuai dengan standar Badan Pengawasan Sertifikasi Benih (BPSB).
Dedet juga menambahkan bahwa, jumlah pembibitan kentang dengan sistem aeroponik lebih banyak menghasilkan dari pada pakai alat dari konvensional. Pembibitan kentang dengan media tanah, 1 kali setahun panen, sedangkan ini 3x setahun, serta tanah hanya menghasilkan 5 bibit sedangkan aeroponik 40-50 bibit.
Ketiga dari Anton, apakah petani kentang juga bisa di Pariaman?
Dijawab langsung oleh pemateri, persoalan petani hari ini adalah Benih dan pupuk jika itu bisa diatasi maka jawabannya bisa. Namun perlu diingat untuk pembibitan benih kentang dengan sistem aeroponik, ketinggian daerah mesti 1.200 mdpl, kelembaban 65-75 dan suhu berkisar antara 18-24 Celsius. Namun di daerah tropis pemanfaatan sistem smart farming aeroponik juga bisa dilakukan dengan metode Root Zone Cooling yaitu metode aeroponik pada dataran rendah.
Wali Nagari Koto Tinggi, Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman sebagai peserta pelatihan batch VII menyampaikan, “kita berharap nanti model pengembangan smart farming yang didiskusikan hari ini, bisa diwujudkan di pariaman”.
Di akhir Dedet menyampaikan, “petani kentang di Provinsi Sumatera Barat hingga saat ini masih terkendala dalam ber-agri bisnis kentang. Hal ini terutama disebabkan oleh sulitnya mendapatkan benih kentang yang bermutu. Oleh karena itu, hingga saat ini belum ada petani penangkar kentang di Sumatera Barat.
Maka dari itu perlu adanya pengembangan petani penangkar kentang dan perlu pengembangan kawasan penangkaran kentang dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan benih di kawasan budidaya kentang di Sumatera Barat.
Harapannya, “kita tidak tergantung dengan benih dari luar, dan kita berharap Sumatera Barat jadi pemasok benih kentang terbesar di Indonesia karena Allah telah memberikan fasilitas yang lengkap di Sumatera Barat, baik dari segi alam yang sangat mendukung dan sumber daya manusia yang cukup, tinggal kita mau menjalani nya dengan kerja cerdas dan kerja keras. Mohon doanya kepada bapak/ibu semua,semoga mimpi ini bisa kita wujudkan bersama untuk Sumatera Barat”, pungkas Dedet.
Saat ini Dr. Dedet Deperiky beserta tim telah membina kelompok tani selama 3 tahun di Kabupaten Solok (Alahan Panjang) dan Kabupaten Agam (Sungai Pua) secara berkelanjutan. (Azn)