Oleh: Arif Jum’atul Ihsan. Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga UIN Imam Bonjol Padang
Sumbarmadani.com– Sudah lazim terdengar di lingkungan Pengadilan Agama (PA) tentang istilah dispensasi nikah. Namun apakah para pembaca yang berasal dari kalangan awam sudah mengenal apa itu dispensasi nikah?
Dalam hukum islam, tidak ada keterangan secara spesifik mengenai dispensasi nikah. Bahkan dalam fikih yang berisikan pemahaman dalil syariat dan berbagai persoalan khilafiyah didalamnya saja tidak ada mengatur dispensasi nikah.
Dispensasi nikah merupakan upaya bagi mereka yang ingin menikah namun belum mencukupi batas usia untuk menikah yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sehingga orang tua bagi anak yang belum cukup umur bisa mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama melalui proses persidangan terlebih dahulu agar mendapatkan izin dispensasi nikah.
Islam tidak membatasi usia minimal dan maksimal bagi laki-laki maupun perempuan yang ingin menikah. Tidak adanya batasan usia nikah ini bukan berarti islam memperbolehkan seseorang untuk menikah dibawah umur, karena syarat dalam hukum islam bagi laki-laki dan perempuan calon suami-istri yang ingin menikah yaitu harus sudah baligh, dimana aturan baligh bagi laki-laki dan perempuan tentu berbeda dari segi umur dan tanda-tandanya. Perbedaan inilah yang membuat banyaknya ulama fikih (fukaha) berbeda pendapat mengenai usia dan tanda baligh bagi laki-laki maupun perempuan.
Al-Qur’an juga tidak menjelaskan secara rinci mengenai batas usia pernikahan, namun dijelaskan secara umum mengenai kapan seseorang bisa dinikahkan, seperti dalam Surah An-Nisa’ yang berbunyi :
وَا بْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰۤى اِذَا بَلَغُوا النِّكَا حَ ۚ فَاِ نْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَا دْفَعُوْۤا اِلَيْهِمْ اَمْوَا لَهُمْ ۚ
“Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya.” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 6).
Ayat ini menjelaskan mengenai anak-anak yang masih muda tidak dapat dinikahkan begitu saja. Dijelaskan juga mengenai konsep dasar perkawinan dalam surah An-Nur yang berbunyi :
وَاَ نْكِحُوا الْاَ يَا مٰى مِنْكُمْ وَا لصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَا دِكُمْ وَاِ مَآئِكُمْ ۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ وَا للّٰهُ وَا سِعٌ عَلِيْمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”
(QS. An-Nur 24: Ayat 32).
Ayat diatas juga sama sekali tidak menjelaskan mengenai batas usia perkawinan. Namun dalam ayat ini menjelaskan serta mensyaratkan adanya kemampuan untuk membina rumah tangga serta memikul tanggung jawab perkawinan, agar nanti tercipta dan terbinanya kehidupan rumah tangga yang sesuai dengan khittah pernikahan menurut Islam, yaitu terciptanya kondisi keluarga yang sakinah (ketenangan), penuh mawaddah (cinta) dan dikelilingi oleh rahmah (kasih sayang).
Kemampuan juga dapat berarti kecukupan materi dan biologis dari kedua pasangan. Tidak hanya itu, kemampuan untuk mendidik pasangan dan anak, kemampuan agama, sosial, ekonomi serta tidak ketinggalan kemampuan membiasakan budaya yang positif juga nantinya akan berpengaruh kepada anak dan cucu mereka kelak.
Seseorang yang akan membina bahtera rumah tangga dituntut mampu untuk tidak hanya menerima pasangan dari segi kelebihannya saja namun juga kekurangannya, bahkan bisa saling melengkapi dalam kehidupan sehari-hari.
Mengenai dispensasi nikah ini tentu ada perbedaan pendapat dalam memahaminya, karena antara hukum positif yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia tentu berbeda dengan hukum islam dan pendapat mayoritas ulama fikih.
Hal ini tentu membingungkan bagi masyarakat awam, apakah antara hukum islam dan hukum positif mengenai dispensasi ini selaras atau bertolak belakang, atau bahkan saling melengkapi satu sama lain?
Dispensasi Nikah dari Kacamata Hukum Positif
Singkatnya, dispensasi nikah ini merupakan kelonggaran hukum bagi mereka yang tidak memenuhi syarat sah perkawinan secara hukum positif, oleh karena itu undang-undang memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk memberikan dispensasi nikah.
Dispensasi nikah dalam hukum positif di Indonesia diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang inilah yang wajib diketahui dan dipedomani oleh pejabat di lingkungan Pengadilan Agama (PA) ataupun Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menjadi dasar hukum perkawinan bagi umat islam Indonesia selain Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Undang-undang di atas telah diperbaharui dengan diterbitkannya Undang-undang No. 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Batas usia perkawinan yang diatur sebelumnya bagi laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun, lalu diubah menjadi 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan.
Hukum positif di Indonesia mengatur laki-laki maupun perempuan yang ingin menikah untuk harus memiliki kematangan baik secara jiwa maupun raga. Salah satu asas perkawinan yang dianut dalam hukum perkawinan di Indonesia yaitu asas kedewasaan calon mempelai. Ini menyiratkan bahwa setiap calon mempelai yang hendak menikah harus benar-benar matang kesiapannya baik secara fisik maupun psikis.
Tujuannya dari segi kesehatan ialah agar menurunkan angka kelahiran yang membludak serta menurunkan resiko kematian ibu dan anak.
Selain itu, tujuannya juga untuk memenuhi hak-hak anak kedepannya sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dengan didampingi oleh kedua orang tua yang lengkap dan sehat. Bahkan mampu membina pernikahan dengan panjang dan baik tanpa adanya cela ataupun sampai ke ranah perceraian.
Menurut Husein Muhak sebagaimana dikutip oleh Mardi Candra, makna kesiapan disini kemungkinan dimiliki oleh anak yang belum berusia 19 tahun bagi laki-laki dan belum genap 16 tahun bagi perempuan dan telah diperbaharui melalui pertimbangan riset ahli dan disiplin ilmu kedokteran menjadi 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan sesuai ketentuan undang-undang perkawinan.
Jika ada sepasang laki-laki dan perempuan yang ingin menikah, lalu mengajukan pendaftaran menikah ke KUA setempat, namun terbukti belum cukup umur menurut undang-undang perkawinan, orang tua kedua calon mempelai dapat mendatangi Pengadilan Agama wilayah hukum tempat mereka tinggal untuk mengajukan dispensasi perkawinan.
Hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama bisa saja mengabulkan permintaan tersebut, dengan pertimbangan kesiapan lahir batin (fisik dan psikis) anak dan faktor eksternal mengapa pernikahan tersebut harus segera dilaksanakan tanpa mengesampingkan efek keberlangsungan pernikahannya.
Dapat dipahami, bahwa tidak ada dispensasi nikah dalam islam karena dalam islam tidak ada penjelasan mengenai batasan usia nikah secara khusus, namun Islam tetap menjadikan baligh sebagai salah satu faktor diperbolehkannya menikah bagi sepasang calon suami-istri .
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya hukum positif ini tidak bertentangan dengan hukum islam, terlebih mengenai dispensasi nikah karena hukum positif tetap mengatur mengenai dispensasi nikah tanpa mengesampingkan hukum islam.
Jadi bagi para pembaca yang akan mengurus pernikahan anak atau keponakannya, jika belum cukup umur namun sudah memiliki komitmen pernikahan, diharapkan agar mengedukasi dan memberikan bimbingan kepada mereka sesuai dengan ketentuan agama dan undang-undang.
Jangan serta merta menjadikan dispensasi pernikahan sebagai solusi pertama apabila si anak atau keponakan ketahuan sudah berpacaran lama atau sudah mengenal dengan baik antar keluarga satu sama lain dan sudah memiliki komitmen. Mana tahu itu hanya sekedar cinta monyet atau rasa gejolak kawula muda masa pubertas saja.
Mohon untuk memperhatikan kembali kesiapan dari masing-masing individu sebelum memproses pernikahan anak keponakannya. Jika terdapat embel-embel pacaran di dalam hubungan antar dua gender, selidiki terlebih dahulu alasan mengapa menikah jika belum cukup umur.
Perhatikan berbagai aspek yang sudah dijelaskan di atas dan kemungkinan terburuk yang akan terjadi apabila akan mengajukan perkara dispensasi pernikahan. Orang tua, selain dituntut untuk memberikan pengetahuan kepada anak-anaknya yang masih bujang (perjaka) dan gadis (perawan) agar menjauhi perbuatan-perbuatan melenceng yang dilarang agama juga harus mencontohkan perbuatan yang baik.
Agar orang tua nantinya tidak malu, jika nanti kedapatan mendaftarkan perkara dispensasi nikah ke pengadilan agama dengan dalih “sudah dulu bajak dari pada kerbau” (sudah berhubungan badan sebelum nikah).
Pengajuan dispensasi perkawinan bukanlah solusi terbaik, statusnya hanya solusi terakhir. Dan aturan mengenai dispensasi nikah sekalipun dibuat oleh hukum positif namun bukanlah sebuah aturan yang melenceng dari hukum Islam.
Karena hukum positif di Indonesia melengkapi apa yang belum diatur dalam hukum islam dan menyesuaikan dengan masyarakat yang ada diwilayah tersebut agar mencapai keinginan dan ketentuan yang sesuai dengan masyarakat dalam negara. (AJI)