Sumbarmadani.com- Sumatera Barat, yang dikenal dengan filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, memiliki panduan hidup yang seharusnya menjaga masyarakatnya dari perilaku yang bertentangan dengan agama. Namun, data menunjukkan fakta yang memprihatinkan: kasus pelecehan seksual terhadap anak terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan laporan SIMPONI-PPA per 1 Januari 2025, Sumatera Barat menduduki peringkat ke-4 dari 38 provinsi di Indonesia dalam hal kasus kekerasan terhadap anak. Situasi ini memunculkan pertanyaan mendalam mengenai penyebab dan solusi atas krisis moral yang terjadi.
Data Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat menerangkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap anak meningkat dari 567 pada 2022 menjadi 783 pada 2023. Jumlah ini mencakup lebih dari 200 korban tambahan hanya dalam satu tahun. Kabupaten Dharmasraya, Pasaman, dan Padang Pariaman menjadi wilayah dengan kasus tertinggi. Misalnya, di Kabupaten Dharmasraya, kasus pelecehan terhadap anak oleh pelaku dewasa menunjukkan pola kekerasan yang melibatkan pelaku dekat dengan korban. Di Kabupaten Pasaman, terdapat kasus pelecehan seksual sesama jenis yang dilakukan oleh seorang pria terhadap 20 anak. Sementara itu, kasus di Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang mengungkap lemahnya pengawasan lingkungan terhadap anak-anak.
Di Kota Padang, misalnya, pada 2024 tercatat 42 kasus kekerasan terhadap anak, mayoritas berupa kekerasan seksual. Salah satu kasus mencatat tiga remaja ditangkap atas dugaan pemerkosaan terhadap seorang anak perempuan berusia 12 tahun. Hal ini menjadi cermin betapa lingkungan sosial yang seharusnya aman bagi anak justru menjadi menakutkan.
Sementara itu, Kabupaten Agam menghadapi tantangan lain dengan 37 kasus kekerasan terhadap anak pada 2023. Kasus pelecehan terhadap 43 santri di Pondok Pesantren Caduang semakin memperburuk kepercayaan orang tua terhadap lembaga pendidikan agama yang seharusnya menjadi tempat yang aman.
Kabupaten Pasaman mencatat 105 kasus kekerasan terhadap anak pada 2023. Salah satu kasus paling menonjol adalah pelecehan seksual sesama jenis yang dilakukan oleh seorang pria berusia 20 tahun terhadap 20 anak di bawah umur. Kasus ini mencerminkan risiko yang dihadapi anak-anak, baik di rumahnya maupun di lingkungan mereka sehari-hari. Hal serupa terjadi di Kabupaten Dharmasraya, di mana korban pelecehan seksual rata-rata adalah anak-anak sekolah. Kasus-kasus ini menegaskan perlunya pengawasan lebih ketat terhadap perilaku individu di lingkungan sekitar anak.
Salah satu faktor utama yang diduga berkontribusi adalah pengaruh budaya asing yang mengikis nilai-nilai adat Minangkabau. Selain itu, lemahnya pendidikan karakter dan kurangnya penanaman nilai-nilai budaya lokal di sekolah menjadi tantangan besar. Padahal, pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak sejak dini. Ketidakpedulian terhadap nilai budaya lokal menjadikan anak-anak semakin rentan terhadap pengaruh buruk lingkungan modern yang tidak selaras dengan nilai-nilai yang diajarkan.
Lebih jauh, tantangan ini diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum. Misalnya, pembebasan terdakwa pemerkosaan di Kabupaten Agam menunjukkan masih adanya kekurangan dalam sistem peradilan yang seharusnya memberikan rasa aman bagi korban. Kasus ini juga mencerminkan perlunya reformasi hukum yang lebih adil dan berpihak pada perlindungan anak.
Tantangan lain yang dihadapi adalah peran keluarga dalam pengawasan anak. Banyak kasus menunjukkan bahwa pelaku adalah orang dekat, sehingga orang tua perlu lebih waspada terhadap pola pertemanan dan aktivitas anak, baik di dunia nyata maupun di media sosial.
Adapun langkah yang harus diambil untuk menangani fenomena ini meliputi: Pertama, Sekolah perlu fokus pada pendidikan karakter, pengawasan mental, dan lingkungan belajar yang aman bagi siswa. Penerapan nilai-nilai adat Minangkabau dalam kurikulum dapat membantu menanamkan identitas budaya yang kuat. Kedua, Orang tua harus lebih aktif dalam mendampingi dan mengawasi anak, terutama dalam penggunaan media sosial yang sering menjadi pintu masuk perilaku menyimpang. Orang tua juga perlu memberikan edukasi tentang bahaya kekerasan seksual sejak dini. Ketiga, Pemerintah, masyarakat, dan lembaga swasta harus bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Kampanye kesadaran yang melibatkan tokoh masyarakat dan agama dapat menjadi upaya efektif. Keempat, Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual harus menjadi prioritas untuk memberikan efek jera dan keadilan bagi korban. Proses hukum yang transparan dan berpihak pada korban akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Selain langkah-langkah ini, diperlukan juga dukungan psikologis bagi korban kekerasan seksual. Menurut catatan Lembaga Perlindungan Anak, banyak korban yang mengalami trauma mendalam akibat kekerasan ini, yang dapat memengaruhi perkembangan mereka di masa depan. Layanan konseling harus tersedia dan dapat diakses oleh seluruh korban tanpa diskriminasi.
Peningkatan kasus pelecehan seksual terhadap anak di Sumatera Barat merupakan tamparan keras bagi masyarakat yang dikenal religius dan menjunjung tinggi nilai adat. Hal ini menunjukkan perlunya introspeksi mendalam terhadap nilai-nilai yang diwariskan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam membangun generasi yang bermoral, didukung oleh keluarga yang harmonis dan penegakan hukum yang adil.
Hanya dengan kolaborasi seluruh pihak, Sumatera Barat dapat mengembalikan martabatnya sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai agama dan budaya lokal. Semua elemen masyarakat harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, menjadikan mereka generasi penerus yang tidak hanya cerdas tetapi juga bermoral dan berbudi luhur.