Sumbarmadani.com – Di awal kemerdekaan Indonesia dipimpin oleh Ir. Soekarno yang dimana ia fokus pada mempertahankan dan membangun Indonesia menjadi lebih baik pasca kemerdekaan yang merdeka dan mandiri. Semangat nasionalisme yang di bawa Soekarno mendorong untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa dan tak jarang ia menyuarakan pidato yang membangkitkan semangat cinta tanah air kepada rakyatnya. Tak hanya semangat nasionalisme yang ia berikan namnun juga pengusahaan untuk pembangunan ekonomi dan keadilan sosial yang dimana hal tersebut tidak mudah untu di hadapi oleh negara baru seperti Indonesia. selain itu, ia juga mencoba mencari jaringan dengan negara-negara tetangga namun tetap tidak ingin mendukung pihak mana pun seperti politik luar negeri bebas aktif yang ia kemukakan.
Hal tersebut membuktikan bahwa Indonesia walaupun tergolong kedalam negara baru namun sudah membenahi negaranya sedikit demi sedikit. Setelah jatuhnya orde lama pada tahun 1966 yang disebabkan oleh krisis ekonomi, konflik senjata yang tak pernah padam dan puncaknya ada pada supersemar, yaitu surat perintah sebelas maret yang dimana berisikan pengalihan kekuasaan dari soerkarno kepada soeharto. Setelah itu soehato duduk menjadi presiden Indonesia, yang dimana tercatat dalam sejarah Indonesia sampai sekarang bahwa Soeharto merupan presiden terlama yang pernah menjabat di Indonesia yaitu selama 32 tahun. Pemerintah Soeharto yang di sebut dengan orde baru mencoba memberikan perubahan bagi Indonesia terutama dalam hal pembangunan. Namun, pada orde baru maraknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme atau yang biasa disingkat dengan KKN yang tejadi.
Baca Juga :SOSIALISASI PENTINGNYA KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DI SMA N 9 KOTA PADANG
Apa tu praktik korupsi, kolusi dan nepotisme? Korupsi merupakan tindakan seseorang yang melakukan penyelewengan uang demi kepentingan pribadi yang merugikan Individu, kelompok maupun negara. Kolusi adalah persengkokolan melawan atau melanggar hukum antar penyelenggara negara maupun penyelenggara negara dengan pihak lain yang merugikan individu, kelompok maupun negara atau secara tidak langsung adalah praktik suap-menyuap. Sedangkan nepotisme merupakan penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu.
Maraknya kasus KKN pada pemerintahan orde baru, seperti kasus korupsi yang menyeret nama Soeharto sendiri yaitu pada temuan Transparency Internasional 2004 dengan total perkiraan jumlah korupsi sebesar 15- 25 miliar dolar AS. Dana tersebut digunakan untuk membiayai tujuh yayasan milik Soeharto; Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung No 2896 K/Pdt/2009 tanggal 28 Oktober 2010, memutuskan Yayasan Supersemar dihukum mengganti kerugian negara sebesar 315.002.183 US dolar dan Rp.139.229.178 atau sekitar Rp 3,07 triliun. Namun hingga saat ini keputusan tersebut belum dilaksanakan karena dana Yayasan Supersemar tidak cukup untuk membayar ganti rugi tersebut.
Dengan terus adanya kasus-kasus baru mengenai praktik KKN ini, maka lahirlah lembaga pengawasan yaitu KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). Pengawasan dalam birokrasi penting ada untuk menjaga keamanan, menegakkan hukum. Penting untuk diingat bahwa penggunaan pengawasan harus diimbangi dengan perlindungan privasi dan hak asasi manusia. Regulasi yang baik dan pengawasan yang transparan diperlukan untuk memastikan bahwa teknologi pengawasan tidak disalahgunakan atau digunakan secara sewenang-wenang terhadap warga negara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan pada tanggal 21 Desember 2002 melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca Juga :Eksportir Muda, Berbisnis Hingga Luar Negeri
Namun, pada kenyataannya saat sekarang ini banyak terdapat kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang berapa di KPK itu sendiri. Ini menjadi pertanyaan untuk kita sebagai rakyat, siapa lagi yang harus kita percayai dalam birokrasi di pemerintahan kita? Lembaga yang seharusnya menjadi pemberantas korupsi malah terjerat dalam kasus korupsi. Kasus yang cukup mencuri perhatian khalayak ramai adalah kasus yang menjerak mantan penyidik KPK yaitu Stepanus Robin Pattuju yang divonis selama 11 tahun penjara karena terbukti menerima suap dalam menangani beberapa kasus korupsi. Stepanus Robin Pattuju erbukti telah menerima suap dengan jumlah keseluruhan lebih dari Rp 11 miliar dan US$ 36 ribu ketika menangani kasus korupsi. Di antaranya ketika KPK menangani kasus korupsi Walikota Tanjungbalai, M Syahrial; kasus suap Dana Alokasi Khusus (DAK) Lampung Tengah yang menyeret Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin; dan penanganan kasus korupsi mantan Bupati Kutai Kertanegara, Rita Widyasari.
Kasus yang menjerat Stepanus Robin Pattuju, bukanlah satu-satunya kasus korupsi yang menjerat anggota maupun mantan anggota KPK namun kasus ini merupakan salah satunya. Masih banyak kasus lainnya yang melibatkan anggota maupun mantan anggota KPK ini. Dari sini kita dapat mengetahui baik kekuasaan, kebebasan, hukum bisa saja di jual belikan oleh birokrasi kita di dalam pemerintahan. Hal ini menimbulkan pertanyaan lagi masih bisakah kita mempercayai KPK?. Seharusnya KPK yang di dirikan untuk memberantas praktik KKN di negara kita bersikap netral dan teguh pendirian, bukan malah termakan rayuan untuk mendapatkan uang.