Sumbarmadani.com – Pada tahun ‘90-an dan 2000-an, masyarakat Indonesia disuguhkan dengan berbagai sinetron inspratif dan mendidik seperti Keluarga Cemara, Tersanjung, Bidadari dan sinetron inspiratif lainnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir kita merasakan turunnya kualitasnya berbagai sinetron yang ditayangkan. Terlalu banyak tayangan penampilan adegan-adegan yang tidak sesuai dengan norma-norma di tengah masyarakat. Apakah kita tidak merindukan hal tersebut? Berkaca pada tayangan-tayangan yang ada pada saat sekarang ini, apa yang terjadi pada tahun ’90-an dan 2000-an bisa dibilang tidak kita jumpai lagi. Padahal, masyarakat Indonesia tumbuh dan berkembang dengan nilai sosial budaya tinggi yang juga tertanam pada tayangan-tayangan tersebut.
Sinetron-sinetron zaman sekarang seperti Anak Langit, Anak Jalanan, Orang Ketiga, dan lain-lain kita rasakan sangat jauh dari nilai norma sosial yang sudah ada di masyarakat. Pada tayangan tersebut, diperlihatkan aksi kekerasan, tindak asusila, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang sepatutnya tidak pantas untuk ditiru. Anak-anak muda zaman sekarang terlihat sering memeragakan tindakan yang ada di sinetron tersebut, tanpa menyadari bahwa apa yang dia lakukan yang bertentangan dengan norma sosial dan agama yang dianut masyarakat Indonesia. Tentunya, ini menjadi keresahan bagi kita bagaimana nantinya mereka bersosialisasi dengan masyarakat tanpa menunjukkan norma yang sesuai.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 258,7 juta jiwa (BPS, 2017: 2) merupakan pangsa pasar yang sangat menggiurkan bagi rumah produksi untuk membuat dan memasarkan sinetron mereka melalui televisi yang ada di setiap rumah. Tanpa memikirkan kualitas konten tayangan, mereka memasarkan sinetron yang banyak mengandung unsur kekerasan, tindak asusila, dan lain sebagainya. Dimana, sangat meresahkan bagi kita. Sinetron yang ada saat ini sering ditayangkan pada jam tayang utama atau primetime (jam 18.00 hingga 22.00 WIB) dimana anggota keluarga sudah berkumpul di rumah. Hakikatnya, itu merupakan waktu yang tepat bagi orang tua untuk memantau perkembangan anak-anak mereka, mulai dari belajar, mengerjakan pekerjaan rumah (PR), beribadah. Namun, pada kenyataannya orang tua sering mangabaikan hal-hal tersebut dan membiarkan anak-anaknya menikmati tayangan yang tidak sesuai dengan pola pikir dan perkembangan mereka.
Bagi rumah-rumah produksi, mereka jarang memerhatikan aspek-aspek sosial budaya pada film atau sinetron mereka. Mereka membuat sinetron hanya memerhatikan apa yang diinginkan masyarakat, bukan apa yang dibutuhkan masyarakat. Bagi stasiun televisi, mereka menayangkan sinetron tersebut tentu untuk mendapatkan rating dan share tayangan yang tinggi, agar pengiklan datang kepada mereka dan membayar mahal untuk bisa ditayangkan diantara sinetron tersebut. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana uang bisa mengalir secara terus-menerus ke kantong mereka, tanpa memikirkan kualitas tayangan mereka.
Beralih ke acara reality show, hal ini berbanding lurus dengan pembahasan sebelumnya. Pembuat acara reality show seperti Dahsyat, Pesbukers, Rumah Uya, dan tayangan lainnya, juga menginginkan uang mengalir ke kantong mereka. tapi yang lebih parahnya, pada salah satu reality show pernah menampilkan tayangan yang menghina orang atau kelompok tertentu. Hal ini tentu memantik kemarahan dari keluarga korban karena mereka tidak terima anggota keluarganya dihina.
Dilihat dari kejadian ini, tentu kita merasa miris dengan hal tersebut karena apa yang terjadi merupakan kemerosotan moral pada diri manusia. Apa yang terjadi tidak pantas untuk disaksikan oleh seluruh masyarakat Indonesia karena tentu hal ini bisa memancing mereka untuk berbuat hal yang seperti itu.
Masyarakat di Indonesia kebanyakan menirukan apa yang dilakukan oleh selebritas pujaan mereka, tidak peduli apakah hal itu patut untuk ditiru atau tidak. Yang mereka pedulikan adalah apakah yang dilakukan itu dilihat oleh selebritis tersebut melalui media sosial. Mereka juga memedulikan apakah yang dilakukan akan menjadi viral atau tidak di tengah-tengah masyarakat.
Menjadi viral merupakan sesuatu yang sangat di idam-idamkan oleh pelaku yang menyebarkan atau membuat unggahan di media sosial, karena dengan hal tersebut mereka bisa terkenal dan menjadi idola baru di tengah-tengah masyarakat. Dengan menjadi viral, orang-orang tersebut juga bisa meraup pundi-pundi tambahan melalui undangan-undangan ke stasiun televisi. Hal ini tentu juga akan meningkatkan kepopuleran mereka di tengah-tengah masyarakat.
Mencari popularitas secara instan merupakan kemunduran kualitas diri bangsa. Hal ini tentunya tidak disukai oleh orang-orang yang bekerja keras untuk meraih kesuksesan karena mereka meniti hal itu dari bawah, bukan melalui cara yang instan. Bagi orang-orang pekerja keras membangun kepercayaan di hadapan masyarakat merupakan tumpuan utama untuk meraih kesuksesan, karena dengan kepercayaan mereka bisa sepenuh hati menegerjakan apa yang mereka lakukan.
Berdasarkan uraian diatas, tentunya kita sebagai masyarakat sangat menginginkan kualitas tayangan lebih ditingkatkan. Dengan adanya peningkatan kualitas tayangan, tentunya hal ini akan berdampak kepada perkembangan pola pikir masyarakat terhadap tayangan karena film dan sinetron yang ditayangkan menggambarkan apa yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Pemaparan diatas tentunya masih belum menggambarkan bagaimana sudah rusaknya moral bangsa kita. Tentunya kita memerlukan beberapa solusi untuk mengatasi hal ini. Bagi masyarakat, tentu kita harus lebih jeli lagi memerhatikan tayangan yang ada. Jangan sampai apa yang kita tonton membuat perilaku kita berubah sehingga menimbulkan pemahaman negatif bagi orang lain.
Bagi pemproduksi tayangan atau siaran, tentunya bangsa ini mengharapkan bahwa apa yang mereka saksikan mempunyai nilai-nilai sosial yang sesuai dengan ajaran agama. Perhatikan apa yang terjadi di tengah masyarakat dengan seksama. Silahkan berkreasi seapik mungkin, namun jangan tinggalkan nilai-nilai budi luhur bangsa.
Seharusnya pemerintah, memperhatikan regulasi penayangan konten di media. Tindak lanjuti apa yang mereka rasakan, dan ingatkan rumah produksi untuk selalu menghasilkan tayangan-tayangan yang berkualitas, sehingga masyarakat merasa nyaman dengan produksi bangsa sendiri. (***)