SumbarMadani.com-Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam berbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya. (Soekarno, 1958).
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia merupakan ideologi yang masih relevan sampai saat ini. Pancasila Ideologi Dunia, buku yang ditulis oleh ketua umum Pengurus Besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saudara Respiratori Saddam Al-Jihad menjelaskan secara terang bahwa Pancasila merupakan sebagai sintesis dari dua ideologi besar dunia. Kapitalisme dalam aspek ekonomi menitik beratkan bahwa kepemilikan modal menjadi poin penting. Ibarat dalam teorinya Darwin bahwa yang kuat akan memangsa yang lemah. Begitulah kira-kira pemahaman dari ideologi kapitalisme, hidup harus berkompetisi.
Dalam aspek pemahaman kapitalisme sebagai ideologi lebih diidentikan dengan individualisme. Kebebasan individu dalam menentukan setiap pilihannya, yang pada dasarnya dalam aspek ke-Indonesian kebebasan demikian sering disalah artikan sebagai kebebasan mutlaq dalam menentukan setiap pilahan pribadi. Pada lingkup ke-Indonesian, budaya kebebasan tersebut diperbolehkan namun tidak menciderai norma yang berlaku di tengah masyarakat.
Komunisme sebagai ideologi sebuah bangsa, mencerminkan dalam aspek ekonomi tidak adanya kepemilikan pribadi, namun yang ada tersebut adalah kepemilikan bersama yanng diatur oleh negara. Kepemilikan pribadi tidak diakui oleh negara yang berpaham komunis, karena semuanya adalah milik bersama. Pada aspek pemahaman bernegara, komunis di istilahkan dengan sosialisme, yang memiliki jargon sama rata satu rasa. Pada dasarnya paham komunispun telah ada pada kultur Indonesia yang identik dengan semangat gotong royong.
Jika dilirik dari pemaparan diatas, jelas kiranya bahwa semangat individu maupun semangat bersama telah termaktub secara terang pada Pancasila. Pancasila yang terdiri dari lima butir menegaskan semangat akan ketuhanan, kemanusian, persatuan, musyawarah dan kebersamaan. Dewasa ini terlihat itu semuanya hanya menarik pada meja akademis. Karena poin dan makna pancasila hanya indah terdengar pada bangku perkuliahan saja. Pancasila tidak lagi menjadi spririt dalam berbangsa dan bernegara. Jika penulis boleh kritik bahwa memaknai pancasila tidak hanya sebatas pada tataran teori saja, namun harus dilaksanakan dalam ranah praxis.
Perkembangan pola hidup sosial kemasyarakatan terjadinya distorsi dari pemaknaan pancasila tersebut. Beberapa dekade belakangan kita menemukan banyaknya para masyarakat Indonesia yang tidak hafal dan paham akan pancasila. Ketidak pahaman tersebut hanya menjadikan pancasila sebagai kambing hitam dalam meraup eloktoral pada tahun politik 2019 sekarang ini. Hal ini tergambar jelas ketika perdebatan antara kelompok satu dengan yang lainnya mengatakan mereka lebih pancasilais dari pada kelompok yang lain.
Akibat dari pengkultusan tersebut membuat masyarkat geram oleh ulah para politisi yang meraup simpatisan. Oleh karena itu munculnya istilah politik pasca kebenaran atau yang diistilahkan post-truht politics. Bahwa yang benar tersebut adalah apa yang menjadi pemaham dan keinginan dari hati seseorang. Tidak ada lagi kebenaran korespondensi, kebenaran koherensi dan tidak ada lagi kebenaran pragmatis. Namun kebenaran yang berasal dari pribadi masing-masinglah yang benar.
Era post-ruth menjadikan pola laku masyarakat mengatas namakan kebenaran hanya berawal dari keyakinan pribadi. Terkadang memebaca pancasilapun hanya pada satu butir poin pokok saja yaitu ketuhanan. Hal demikian menjadi keyakinan yang mutlaq dalam memeluk kepercayaan suatu agama dan menjadikan keyakinan orang lain tidak benar. Akibat dari era tersebut memperlihatkan bahwa negara Indonesia yang menganut ideologi pancasila sedang dilanda krisis pemahaman yang akan mengakibatkan disintegrasi bangsa.
Persoalan yang begitu rumit tentu perlu mencari formula yang baik untuk mengantisipasi supaya tidak terjadi perang saudara di tanah air. Penulis pikir perlu membaca pancasila dengan kaca mata terbalik. Pancasila yang termaktub dari Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab, Ketiga Persatuan Indonesia, Keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, Kelima Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Membaca Pancasila secara terbalik tidak lagi dari satu sampai lima tapi dari lima sampai satu. Keadilaan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mesti diletakan pada posisi yang paling awal. Supaya segenap rakyat Indonesia mesti menyadari bahwa itulah poin pertama yng mesti diwujudkan. Dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia penulis pikir tidak akan ada lagi yang namanya kesenjangan sosial, tidak ada lagi yang namanya kelaparan, tidak ada lagi momok antara sikaya dengan si miskin, tidak ada lagi anak-anak Indonesia yang putus sekolah. Poin selanjutnya adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijkasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Pada sila yang keempat ini, mesti diletakan pada posisi kedua, bahwa dalam setiap memutuskan suatu persoalan mesti di musyawarahkan atau diskusikan secara bersama terlebih dahulu. Istilah footing pada dasarnya tidak pernah ada dalam perbendaharaan kamus rakyat Indonesia. Karena, footing tersebut bukan budaya Indonesia. Buadaya Indonesia adalah musyawarah dan berumbuk bersama.
Jika poin keadialan sosial telah pada posisi atas maka untuk mewujudkan hal demikian mesti di musyawarahkan terlebih dahulu bagaimana cara untuk mewujudkan poin diawal tersebut. Ketiga Persatuan Indonesia, jika telah memiliki keadilan dan bermusyawarah, maka hasil dari musyawarah tersebut dijadikan sebagai keinginan bersama dan bersatu dalam mewujudkannya. Keempat Kemanusian yang adil dan beradab, jika telah bersatu maka pada poin ini mesti harus menghargai setiap pilihan pribadi yang menjadi pilihannya. Mesti harus menghargai nilai-nilai kemanusian yang berbeda maupun sama dengan pemahaman kita.
Terakhir adalah bicara persoalan Ketuhan Yang Maha Esa. Pada poin ini bicara soal keyakinan mesti di kembalikan kepada individu masing-masing. Karena pilihan berketuhan merupakan hubungan transendensi antara makhluk dengan Sang Khalik. Kajian tentang Ketuhanan Yang Maha Esa mesti di kembalikan kepada individu dan inilah yang dilakukan oleh Erdogan dalam mencoba mengembalikan dan membangkitkan negara Turki dalam keterpurukan.
Pemahaman inilah yang diterangkan oleh Soekarno dalam buku Islam Sontolonya yang mengatakan bahwa untuk berkeyakinan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika lebih spektakuler kita bisa membaca buku Gusdur yang berjudul Tuhan tidak perlu dibela, dan ini mengindikasikan bahwa Tuhan cukup di dalam keyakinan masing-masing. Tidak mesti mengatas namakan agama, keyakinan, ketuhanan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang tidak sepaham dengan orang lain. Jika membaca pancasila seperti ini, penulis yakin kegaduhan di tahun yang panas ini tidak akan menjadi kerusuhan yang berkepanjangan. Cita-cita Indonesia sebagai negara yang berdaulat adil dan makmur hendaknya tercapai. Semoga bermanfaat.