Sumbarmadani.com-Meskipun Undang-Undang telah mengatur dengan jelas dan tegas tentang tugas dan wewenang kepala desa termasuk larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan, salah satunya dalam hal netralitas kepala desa terkait proses penyelenggaraan pemilu, rupanya masih terdapat perbuatan-perbuatan dan pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh kepala desa di Indonesia.
Pemilu yang bermartabat adalah pemilu yang menjunjung tinggi ketaatan pada peraturan hukum yang ada dalam setiap bangsa. Kejujuran dan keadilan dalam pelaksanaan pemilihan umum merupakan hal yang harus dijunjung tinggi dalam negara yang demokrasi yang mencerminkan kualitas moral dalam berdemokrasi itu sendiri. Pemilihan umum di Indonesia sebagai suatu upaya dalam mewujudkan negara demokrasi haruslah dilaksanakan dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keadilan agar bisa melahirkan pemimpin yang profesional dan memiliki kredibilitas yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan.
Keadilan dan kejujuran adalah hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemilu, karena pemilu merupakan sarana utama bagi rakyat untuk berdemokrasi. Sesuai yang tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum bahwa pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Apabila dalam penyelenggaraannya dibumbui dengan kecurangan-kecurangan maka kehendak rakyat tidak akan terwujud dengan sempurna dan tujuan dari pemilu tidak akan tercapai.
Pelaksanaan kampanye yang sejatinya tujuannya menarik suara rakyat sebanyak mungkin justru seringkali ternodai dengan sejumlah kecurangan yang dilakukan oleh oknum tertentu termasuk salah satunya oleh oknum kepala desa memainkan peranan dalam keputusan seseorang untuk memberikan suaranya. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan pesta demokrasi selalu berakhir dengan ketidaksempurnaan.
Terkait pelanggaran pemilu yang didominasi oleh pelanggaran dalam kegiatan kampanye, Bawaslu pada tahun 2019 memproses total 6.649 kasus. Temuan kasus pelanggaran tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur sebanyak 3.002 temuan kasus, kemudian disusul oleh Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 571 temuan kasus.
Salah satu tentang temuan pelanggaran pemilu adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Kepala Desa. Larangan untuk kepala desa terlibat dalam proses politik sudah jelas diatur dalam UU No 6 Tahun 2014 dan UU No 7 Tahun 2017
Bentuk-bentuk Pelanggaran Pemilu Oleh Kepala Desa:
Pertama, Memaksa calon pemilih menggunakan hak suaranya. Menurut KBBI memaksa berarti memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa. Jabatan sebagai kepala desa seringkali dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk memaksa seseorang melakukan hal yang diinginkan oleh kepala desa termasuk dalam hal pemilihan umum. Padahal hak untuk memilih calon pemimpin sesuai dengan keinginan hati nurani adalah merupakan hak asasi manusia. Memaksa dan merenggut hak pilih seseorang dalam proses demokrasi adalah pelanggaran terhadap undang-undang.
Contoh Kasus pada 2019, di Desa Cimareme, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, yang mana kepala desa bernama Jajang Haerudin terekam dalam sebuah video mengajak warga untuk memilih calon dalam pilpres 2019. Kedua, di Desa Cidokom, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, kepala desa tersebut terekam dalam sebuah video terang-terangan mengajak warga untuk memilih salah satu calon presiden pada pemilu 2019, dalam ucapannya dia menyebut bahwa dia sebagai kepala desa maka warga harus menuruti perintah pemimpin (kepala desa).
Kedua, Terlibat aktif dalam proses kampanye, sebagai pejabat pemerintahan kepala desa harus bersikap netral dalam proses pemilihan umum. Kepala desa dilarang keras untuk melakukan tindakan yang akan menguntungkan dan/atau merugikan salah satu peserta pemilu. Namun ternyata ada juga kepala desa yang terlibat secara langsung/tidak langsung didalamnya.
Contoh Kasus pada 2019, terjadi di Kabupaten Tegal, kepala desa yang diketahui bernama Sunitah menghadiri undangan kampanye salah seorang calon anggota legislatif dan ikut memberikan sambutan dalam acara tersebut. Ini jelas sebuah pelanggaran, dan masih banyak kasus lain yang terjadi disekitar kita, termasuk dalam hal kunjungan reses dan penyaluran dana pokir anggota dewan yang juga sarat dengan kepentingan politik (kampanye) untuk dia maju di periode berikutnya. Dalam kegiatan tersebut sangat sering dihadiri oleh Kepala Desa yang bersangkutan.
Ketiga, Membuat Keputusan yang menguntungkan/merugikan peserta pemilu. Kepala desa tentu saja memiliki wewenang untuk membuat keputusan yang terkait dengan desanya termasuk mengenai izin untuk melaksanakan acara. Terkecuali untuk perizinan yang berkaitan dengan kegiatan kampanye. Tempat dan waktu kampanye biasanya sudah ditetapkan oleh KPU maka dari itu tidak boleh ada kegiatan kampanye yang dilakukan diluar dari tempat dan waktu yang sudah ditetapkan. Contoh kasus, terjadi di Desa Tinoba Kecamatan Bulukumba, dimana kepala desa diduga menandatangani surat rekomendasi acara salah satu calon legislatif pemilu tahun 2019
Dari bentuk pelanggaran yang telah diuraikan di atas yang dilakukan oleh kepala desa, jelas melanggar UU No 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum Pasal 490 yang berbunyi “ Setiap Kepala Desa atau sebutan lain yang dengan jelas sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Netralitas kepala desa sangat menunjang bagi terlaksananya pemerintahan yang baik. Kepala desa fungsinya berperan sebagai aparatur negara yang ada di desa yang bertugas melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kepada masyarakat dan memberdayakan masyarakat. Pentingnya menjaga netralitas juga dijadikan sebagai paham yang harus dijunjung tinggi agar misi yang bersangkutan sebagai pelayan masyarakat tak terkontaminasi dengan kepentingan pragmatis.
Hal Ini tentu harus dipahami dan betul-betul menjadi perhatian semua kepala desa agar tidak membuat sikap dan perilaku blunder. Kemudian para peserta pemilu terlebih incumbent harus bersikap arif dan bijaksana, tidak lagi menggunakan cara yang tidak fair dengan melibatkan kepala desa yang akan merusak tahapan demokrasi akan menjadi semakin lemah dan rusak. (*)