Sumbarmadani.com – Membaca adalah suatu kegiatan yang bermanfaat. Dengan membaca, waktu kita tidak akan terbuang sia-sia karena akan selalu menambah pengetahuan dan mampu meningkatkan daya ingat kita dari setiap apa yang kita baca. Begitupun ketika membaca dijadikan sebagai budaya, tentu manfaat yang didapatkan tidak hanya ingat, melainkan juga paham terhadap apa yang menjadi realitas.
Memang diakui, tidak semua orang di bumi pertiwi ini menyukai budaya membaca. Itulah kemudian yang sering menjadi kritikan bagi Negara Indonesia. Apalagi pada generasi muda. Fenomena yang selalu tidak ada perbaikan setiap tahun tersebut memotivasi dan menginspirasi saya untuk menuliskan persoalan tersebut guna mencarikan solusi untuk masa depan generasi muda.
“Tragedi Nol Buku”, pernah disimpulkan dari penelitian Taufik Ismail, 69 tahun yang lalu. Tragedi mengenai merosotnya minat membaca dan menurunnya kualitas perhatian terhadap budaya membaca terutama di kalangan generasi muda yang sampai sekarang menjadi tragedi tersebut masih terlihat belum teratasi. Problema ini seperti berjalan tanpa disadari dan berlarut-larut menjadi kebiasaan yang telah mendarah daging bagi setiap generasi muda Indonesia. Lalu haruskah kita menemukan solusi dari problema ini atau tetap prihatin terhadap merosotnya minat membaca tersebut?
Tentu, kita perlu prihatin terhadap masalah tersebut karna itulah yang terjadi pada saat sekarang ini. Kita perlu solusi yang tepat dan orang yang tepat untuk dapat menyelesaikan problema tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Riduan Situmorang dalam tulisannya yang berjudul “Bagaimana Membelajarkan Membaca”, yang terbit di basabasi.co, ia mengatakan “jalan menuju kebodohan ternyata lebih luas”. Maksud dari tulisan tersebut adalah dengan bermalas-malasan tanpa usaha untuk memperbaiki keadaan maka kita akan dengan sendirinya menuju gerbang kebodohan.
Pernyataan Riduan tersebut sangat kontemporer. Apalagi di era teknologi pada saat sekarang ini, generasi muda malahan lebih update terhadap game terbaru, atau hal-hal yang viral dan trending yang jauh dari nilai intelektualitas ketimbang info terbitan buku terbaru yang menjadi best seller pada saat sekarang. Realitasnya, sebagian generasi muda lebih tahan bermain game sejam, dua jam, bahkan seharian untuk bermain game, itupun terkadang untuk sekedar butuh pengakuan sosial tentang peningkatan dari game yang sesama generasi muda mainkan ketimbang membaca buku sepuluh atau sampai lima belas menit saja, begitulah kira-kira.
Kondisi lainnya memperlihatkan bahwa membaca masih belum dijadikan referensi utama untuk memperoleh informasi, baik itu membaca buku, majalah, koran, ataupun media online lainnya. Generasi muda masih terlihat apatis atau tidak ingin tahu terhadap hal tersebut.
BPS tahun 2015 menyebutkan penduduk berumur 10 tahun ke atas mendata bahwa menonton televisi menjadi sumber informasi utama dengan persentase 91,47 persen. Sedangkan membaca berita elektronik sebanyak 18,89 persen, dan membaca surat kabar/majalah sebanyak 13,11 persen. Artinya, penduduk kita lebih senang menggali informasi yang sudah siap saji melalui audio visual dari televisi daripada membaca berita yang tertulis secara tekstual.
Kita mengetahui bahwa setiap negara selalu berlomba-lomba terhadap peningkatan minat membaca masyarakatnya, sebut saja seperti negara Jepang, Korea, Belanda dan negara-negara lainnya yang menganggap penting kegiatan membaca. Masyarakat di negara tersebut akan membaca dimana saja dan kapan saja untuk bisa mendapatkan dan menambah informasi.
Kita ambil contoh Belanda. Belanda merupakan sebuah negara yang terkenal dengan sebutan negeri kincir angin. Di Belanda tidak hanya generasi muda saja yang memiliki minat membaca, namun dari semua kalangan baik dari kalangan anak-anak yang sudah bisa membaca sampai dengan kalangan orang tua yang selalu peduli terhadap pentingnya membaca, karena mereka dari masa anak-anak yang sudah bisa membaca sudah dibekali dan ditanamkan rasa akan pentingnya membaca.
Mereka selalu bisa merealisasikan kegiatan membaca, misalkan sedang berada di bus, di halte, di ruang tunggu atau di manapun mereka tetap melakukan aktifitas yang sama yaitu membaca. Begitu juga ditemui di negara Korea, Jepang, dan lainnya. Kebiasaan ini dianggap sebagai patokan dalam pertumbuhan mutu pendidikan yang baik dan berkelanjutan untuk kecerdasan bangsa.
Ketua DPR, Puan Maharani, waktu itu masih jadi Menteri, mengatakan bahwa rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. (Kompas,26/03/18). Jika kita simpulkan untuk menamatkan satu buku saja butuh waktu lebih dari sebulan. Wajar saja jika UNICEF melaporkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia 0,001 persen. Diantara seribu orang hanya satu yang memiliki minat baca yang bagus. Sungguh perbandingan jumlah yang sangat jauh. Bahkan The World’s Most Literate Nations 2016 menempatkan Indonesia di urutan ke 60 dari 61 negara. Sungguh angka yang ironis bukan? Dapat dikatakan demikian semua terjadi karena kurangnya menanamkan rasa akan pentingnya membaca dan kurangnya melestarikan budaya membaca.
Berkaca dari problema yang terjadi, budaya membaca di negara Indonesia memang sudah sepantasnya dikatakan minim sekali dan jauh dari harapan yang diinginkan. Kurangnya minat membaca tersebut mengantarkan kepada kesimpulan bahwa masyarakat indonesia lebih senang dengan budaya mendengar, segala informasi yang ingin diperoleh lebih baik mendengar kabar dari mulut ke mulut yang berada di tengah lingkungan masyarakat daripada harus repot membaca, begitulah mindset yang terjadi pada masyarakat sekarang terutama pada generasi muda yang serba ingin praktis dan instan.
Indonesia masih berpeluang untuk bangkit dari keterpurukan dengan meningkatkan minat membaca dan literasi, dan melestarikan membaca sebagai kebutuhan, dapat dilakukan dengan membaca bahan bacaan yang tergolong ringan seperti majalah, koran, novel, buku cerpen dan lainnya, diawali sepuluh sampai lima belas menit di pagi hari, jika siang masih sibuk bekerja dan belum terbiasa, lalu dapat melanjutkannya di malam hari, jikapun tidak sempat setidaknya telah membaca di pagi hari. Ini merupakan hal sederhana yang bisa dilakukan secara rutin untuk meningkatkan minat membaca.
Jika hal ini terus digalakkan menjadi kebudayaan dan kebutuhan. Maka tidak tertutup kemungkinan indonesia menjadi negara maju dan mempunyai mutu pendidikan yang terus meningkat dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Karena untuk memulainya kita perlu pembiasaan untuk tetap konsisten. Kita bisa membuka jendela dunia dengan membaca. Pikiran juga butuh diberikan asupan bacaan agar tidak terjebak dalam kubangan kebodohan. Jangan biarkan pikiran berpuasa, beri ia makan dengan membaca, dan beri ia minum dengan berdiskusi. (***)