Sumbarmadani.com – 2024 menjadi tahun politik yang mana partisipasi generasi milenial sangat menentukan arah perbaikan bangsa kita kedepan. Tahun 2024 merupakan waktu yang tepat bagi generasi milenial untuk tampil sebagai pemimpin politik. Tentu ini menjadi konstruktif bagi generasi milenial bahwa para old politician (generasi tua) tidak akan lama lagi pensiun dan pamit dari dunia perpolitikan karena perubahan era dan kebutuhan zaman.
Apabila melihat kondisi demografi pada pemilu 2020 lalu, Pilkada serentak didominasi oleh pemilih milenial. Tentu, kepemimpinan yang dibutuhkan masyarakat terhadap kepemimpinan milenial berbanding lurus (meningkat). Tapi, akan lebih baik jikalau generasi milenial menjadi aktor dari perhelatan politik ini dalam mewujudkan kehendak rakyat-kaum muda selaku penggerak perubahan. Dimana kita bisa berkaca dari tahun politik 2019, terdapat 52 anggota DPR RI, 1 Menteri dan 2 wakil menteri dan 7 Staf Presiden merupakan kaum milenial.
Seiring dengan itu, era perpolitikan bangsa-bangsa beralih pada technopolitik, meleburnya proses-proses formal maupun non formal politik dengan teknologi komunikasi dan informasi. Sebagaimana data dari We are sosial Hootsuite tahun 2019 yang menggambarkan bahwa Indonesia tengah mengalami penetrasi pembangunan media sosial sebesar 150 juta, setara dengan 56% dari total penduduk Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kontestasi politik kita bergantung pada pengguna teknologi informasi (era digital). Konsekuensi dari era ini adalah menjadikan generasi milenial sebagai kunci utama dari proses perpolitikan bangsa menuju perbaikan dan terbukanya kran politik pencitraan semakin melebar.
Berangkat dari interpretasi versi retorika demokratik ideal, sistem representasi harus secara langsung mencerminkan preferensi massa. Persimpangan antara elit dan perwakilan dalam demokrasi sangat rumit diuraikan oleh batas-batas konsensus sosial. Mayoritas masyarakat Indonesia hanya memperhatikan komitmen superfisial terhadap norma dan gagasan demokrasi. Pun karenanya elit politik dipandang sebagai gudang utama kebajikan demokrasi. Konsekuensi langkah perbaikannya adalah para rakyat muda harus menghadirkan manifesto politik nilai untuk mencerdaskan masyarakat terhadap pencitraan politik baik itu secara verbal maupun melalui digital.
Hemat penulis, politik pencitraan merupakan upaya meng-hipnossis massal dengan melebih-lebihkan kualitas diri agar yang melihat bisa tertarik pada sang tokoh yang memiliki kepentingan politis. Politik pencitraan merupakan pencitraan politis yang dilakukan secara sistematis, masif dan terstruktur. Dan benar bahwa kemampuan kemas diri atau mengelola citra begitu manjur menarik perhatian, menjadi penjelasan yang paling representatif bagi kalangan partisipan pemilihan umum.
Politik Generasi Milenial
Bagi penulis, politik generasi milenial yang berkutat dibawah kecanggihan teknologi merupakan alat penindas kebobrokan. Artinya, semangat juang muda dan identitasnya yang masih kental dengan kecenderungan memperjuangkan kemaslahatan masyarakat tidak bisa ditipu daya oleh para politikus begitu saja. Pemeran utama dalam kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi saat ini adalah kaum muda. Bagi kaum muda perubahan adalah keharusan, satu-satunya kepastian yang mampu memperbaiki kebobrokan adalah perubahan.
Meminjam pernyataan dari aktivis 66, Soe Hok Gie bahwa “Tugas kita sebagai generasi muda adalah memberantas generasi tua yang mengacau.” Dan hari ini, semua itu harus dijawantahkan dalam proses-proses politis, akademis dan aktivis. Bangsa kita telah diwarisi perpolitikan bobrok oleh para pendahulu, sebut saja politik hitam, politik pencitraan, money politik, kelptokrasi, nepotisme, dinasti politik, politik kebohongan dan lainnya.
Generasi milenial mampu memperbaiki perpolitikan melalui dua cara, mendidik rakyat dengan pergerakan dan mendidik penguasa dengan perlawanan. Itulah fatsun revolusioner kaum muda, meleburkan diri dalam kerja-kerja ideologis dan politis. Bahkan apabila melihat geliat para kaum muda setelah reformasi, tidak sedikit memutuskan diri untuk terjun bebas kedalam partai politik dan memilih perjuangan melalu parlemen. Akan tetapi, keberadaan mereka tidak efektif, cenderung ter-marjinalisasi dalam proses-proses politik formal dan malah ikut menjadi bagian kebobrokan bangsa. Akan tetapi yang jelas, para milenial sudah lebih dari cukup melihat pengalaman dan agenda politik para generasi muda pendahulu kita, berubah adalah satu-satunya pilihan.
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas Negeri Padang dan Koordinator Aliansi Mahasiswa Pasaman Bergerak