Sumbarmadani.com – Menurut laman Polri.go.id/sim, “Surat Izin Mengemudi adalah bukti regristrasi dan identifkasi yang diberikan oleh Polri kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan administrasi, sehat jasmani, dan rohani, memahami peraturan lalu lintas dan terampil mengemudikan kendaraan bermotor.” Kemudian merujuk pada Pasal 77 ayat (1) UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.”
UU LLAJ juga turut menjelaskan pada Pasal 77 ayat (3), “Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri.” Artinya, kepemilikan SIM bagi para pengemudi kendaraan bermotor sudah menjadi barang wajib yang harus dipenuhi oleh setiap Warga Negara Indonesia yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan.
Setiap calon pengemudi berkewajiban untuk memiliki SIM setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri, memenuhi syarat pembuatan SIM, serta dinyatakan lulus ujian mengemudi. Pasca melalui seragkaian proses tersebut, calon pengemudi berhak untuk memperoleh SIM yang diterbitkan oleh negara melalui Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepemilikan SIM menjadi bukti bagi seseorang untuk dianggap berkompetensi menggunakan kendaraan bermotor di jalan, serta memahami akan keselamatan berlalu lintas.
Untuk itu, dalam memenuhi kebutuhan setiap Warga Negara Indonesia akan legitimasinya berkendara di jalan, Kepolisian Negara Republik Indonesia menyelenggarakan pembuatan SIM. Namun dalam penyelenggaraannya, sudah bukan menjadi rahasia lagi, jika berbicara pengurusan penerbitan SIM akan berbenturan dengan praktik penyimpangan yang bernama pungutan liar (Pungli). Di kota Padang misalnya, pungli masih dapat dijumpai pada saat pengajuan permohonan pembuatan SIM di Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Padang (Satlantas Polresta Padang). Tarif yang dikenakan juga beragam sesuai dengan golongan SIM yang dimohonkan. Rata-rata pemohon dipatok untuk merogoh saku diatas tarif yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku dengan dalih mempermudah penyelesaian pengurusan.
Biasanya, permintaan imbalan atau pungli ini untuk mempermudah dan/atau memangkas tahapan proses yang seharusnya dilakukan sesuai amanat UU LLAJ. Dengan diiming-imingi adanya proses yang instan seperti itu, masyarakat pun turut berpartisipasi dalam melanggengkan hal tersebut. Bukan tanpa sebab, ini akibat masih banyaknya masyarakat tidak nyaman dengan sistem pelayanan birokrasi yang berbelit, sehingga jalan proses instan adalah pilihan terbaik.
Perihal biaya administrasi pembuatan SIM sebenarnya telah ditetapkan di dalam lampiran PP No. 76/2020 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, SIM A dikenakan biaya sebesar Rp. 120. 000 dan SIM C dikenakan biaya sebesar Rp. 100. 000, kemudian menurut Kepala Seleksi Pembinaan dan Pelayanan (Kasibinyan) Subdit Regident Korlantas Polri, Kompol Faisal Andri, biaya administrasi akan ada tambahan mulai dari asuransi sebesar Rp. 30. 000, cek kesehatan Rp. 50. 000, dan psikotes Rp. 60. 000.
Masalahnya, biaya tambahan ini tidak termasuk dalam PNBP ataupun pengaturan terkait lainnya, hal ini berpotensi memberi celah bagi oknum Kepolisian untuk mengambil keuntungan. Lembaga eksternal sebagai pihak ketiga, terkadang menetapkan harga diatas dari biaya yang disampaikan oleh Kepala Seleksi Pembinaan dan Pelayanan (Kasibinyan) Subdit Regident Korlantas Polri. Padahal, jika memang asuransi, cek kesehatan, dan psikotes merupakan satu kesatuan yang dibutuhkan dalam tes SIM, demi kepentingan umum seharusnya besaran biaya tersebut ditetapkan secara pasti di dalam suatu pengaturan. Sehingga akan memberikan kepastian hukum dan tidak memberi ruang serta celah bagi oknum Polisi untuk menerima atau meminta adanya imbalan lebih dari lembaga eksternal terkait.
Penyalahgunaan kewenangan oleh aparat Kepolisian dapat dikenakan sanksi, menurut PP No. 2/2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri, pada Pasal 6 huruf q, “Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Republik Indonesia dilarang menyalahgunakan wewenang”. Selanjutnya pada Pasal 6 huruf w, “Dalam pelaksanaan tugas, anggota Kepolisian Republik Indonesia dilarang melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apa pun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.”
Pungli sangatlah jauh dari nilai-nilai yang ada pada slogan Polri saat ini, yaitu: “PRESISI”. Pemantapan program transformasi prioritas dalam kebijakan POLRI PRESISI terdiri dari transformasi organisasi, transformasi operasional, transformasi pelayanan publik, dan transformasi pengawasan. Program Polri Presisi dicanangkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bertujuan agar dapat mengoptimalkan pelayanan seluruh satuan kerja di lingkungan Polri, baik jajaran di tingkat pusat maupun jajaran di wilayah. Agar setiap insan Bhayangkara mampu melaksanakan tugas Polri secara cepat dan tepat, responsif, humanis, transparan, bertanggung jawab, dan berkeadilan.
Sudah menjadi suatu keharusan, bahwa praktik pungli ini tidak lagi menjadi suatu kebiasaan yang mengakar menjadi budaya. Perlu adanya tindakan tegas terhadap oknum yang mencoreng integritas lembaga Kepolisian. Sesuai dengan yang termaktub pada Pasal 87 ayat (4) UU LLAJ, “Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menaati prosedur penerbitan Surat Izin Mengemudi.” Dan apabila ditemukan kecurangan dalam proses pembuatan SIM oleh oknum Kepolisian, sesuai yang termaktub didalam Pasal 91 ayat (1) UU LLAJ, “Setiap petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penerbitan Surat Izin Mengemudi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa sanksi disiplin dan/atau etika profesi kepolisian.”
Mengutip pernyataan Kapolri, Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo, bahwa jika tidak bisa memotong ekornya, beliau akan memotong kepalanya. Kemudian Irjen Ferdy Sambo, mantan Kadiv Propam Polri pada 31 Mei 2021 juga pernah menuturkan: “Sebagai pertanggung jawaban kepada masyarakat, siapa saja yang terlibat akan diajukan pada peradilan umum dan sidang etik dan profesi yang berlaku di internal Polri”, beliau juga menghimbau seluruh anggota Polri yang bertugas di pusat ataupun jajaran wilayah agar menjunjung tinggi tanggung jawab dan moral yang luhur untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Beliau mengajak masyarakat untuk ikut melapor jika menemukan dugaan pelanggaran. “Divisi Propam Polri mengimbau kepada seluruh anggota masyarakat untuk berperan aktif melaporkan melalui ‘Aplikasi Propam Presisi’ apabila ada anggota Polri yang berpotensi melanggar sumpah dan jabatan”
Ketegasan jajaran petinggi Polri ini seharusnya benar-benar terimplemetasikan sebagai wujud integritas Kepolisian dalam memberantas praktik pungli. Terutama saat ini Indonesia dalam kondisi pemulihan ekonomi di tengah upaya berperang dengan Covid-19, pungli justru telah mencederai pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, khususnya di kota Padang. Selain praktik ini menyimpang, perbuatan praktik ini secara tegas harus ditolak menjadi bagian daripada kebudayaan. Khususnya di kota Padang, yang lekat akan adagium “Adaik Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah”, praktik pungli sangatlah jauh dari nilai-nilai falsafah Minangkabau tersebut, dan juga jauh daripada nilai-nilai agama Islam. Ini tidak dibenarkan menjadi suatu kebiasaan yang terus hidup di ranah Minangkabau, khususnya kota Padang.
Maka dari itu, sudah seyogianya ada tindakan tegas oleh Kapolresta Kota Padang terhadap Satlantas Polresta Kota Padang perihal penyalagunaan kewenangan oknum Polisi yang tidak bertanggungjawab. Praktik penyimpangan ini harus diusut tuntas segera, dan harus ada tranparansi antara Kepolisian kepada Publik masyarakat kota Padang.