Jargon politik, kini kita dambakan mengisahkan fenomena yang turut prihatin. Dua dekade telah bergulir setidaknya belum membuahkan hasil yang maksimal, sebagaimana diimpikan di awal-awal pergolakan reformasi tiba. Liberaliasasi politik, mengehendaki proses demokratisasi di tanah air bisa menggariskan iklim politik yang equal, dan jaminan kebebasan menyatakan di muka umum. Itulah jargon yang terbilang populer di abad demokrasi ini. Namun jauh panggang dari api, harapan itu hanyalah narasi elite yang belum bisa menyentuh daftar kedamian sipil.
Tragedi politik bisa saja berulang kapan saja, dan dimana pun atas segala peritiwa yang mendekam demokrasi terhenti. Orde Lama dan Orde Baru setidaknya menjadi catatan pelajaran yang berharga bagamana bangsa ini bereksperimen ke alam demokrasi. Sayangnya, tindakan kesewenang-wenangan kekuasaan masih saja kita temui di sela-sela persimpangan jalan. Kita suka biacara demokrasi adalahan instrumen politik yang menjanjikan, tetatapi disaat yang sama kita gagap berpihak kepada alam politik tersebut.
Begitulah hukum sejarah demokrasi, bahwa ia terus berdealektika atas kezaliman penguasa yang absolutis. Perjalanan kepemimpinan presiden Jokowi diera pasca reformasi ini, setidaknya perlu diberi catatan serius atas kelangsungan hidup sipil dibawah alam demokrasi. Unjuk rasa dimana-mana kebanyakan berunjung dibalik terali besi. Tidak sedikit jumlahnya, penangkapan aktivis pro-demokrasi berjejer di ambang pintu Mabes Polri. Sejumlah activis; Dr. Syahganda Nainggolan, Moh Jumhur Hidayat, Dr. Anton Permana dan Gus Nur, kini meretap nasib perjuangan di sana, atas kegigihan mereka dalam mengingatkan rezim penguasa yang abai terhadap pengelolalan pemerintahan dan kesejateraan rakyat.
WAJAH DEMOKRASI KITA
Potret demokrasi di era milenial, bisa dikatakan demokrasi tanpa landasan ideologi, alias demokrasi abu-abu. Demokrasi kini terasa hambar, ia hanya bisa ditafsirkan oleh otoritas kekuasaan. Apapun kehendaknya terserah tuan, begitulah kira-kira perumpamaaanya. Entah itu demokrasi liberalistik, kapitalitistik, pancasilaistik, dan bisa saja otoritarianism nampak menghiasi selera rezim hari ini.
Dengan demokrasi, tatanan politik bisa terkontrol oleh yang memiliki kedaulatan penuh (rakyat) agar menghindari kegemukan kekuasaan. Tetapi faktanya demokrasipun kini tak berdaya menghalau tindak kesewenangan penguasa dalam penyelenggaraan pemeritahan. Sebaliknya yang terjadi pemerintah sebagai penguasa justeru semena-mena dan anti kritik. Bila kalangan rakyat menyampaikan pendapat di ruang publik, malah dicap sebagai tindakan di luar prosedur. Acapkali merek disebut-sebut sebagai sampah demokrasi. Pernyataan demikian secara langsung menepis derajat demokrasi untuk tumbuh yang pada girlirannya mengingkari kedaulatan rakyat sebagai pemiilik tahta kedaulatan.
Belum lagi aparat tindakan represif pihak kepolisian yang amburadul, suka menyelesaikan persoalan dengan kekerasan fisik. Laras dan senjata pun sasaran yang tepat untuk mencegah penggiat demokrasi saat unjuk rasa berlangsung. Fenemona ini bukan lagi rahasia umum, ia terus datang disaat gelombang gerakan sipil tiba, dalam menuntut kejelasan kebijakan negara. Kekerasan demikian sesungguhnya adalah tindakan kriminal, barbarian. Bagai singa yang telah lapar di siang hari, memangsa segala yang ada di depannya. Tentu kepolisian bukanlah perwujudan kebinatangan, tetapi pengayom rakyat. Namun begitulah faktanya kepolisian yang kita jumpai sekarang , negara lewat kepolisian tampil dengan wajah represifnya, rakyat pun menjadi tawanan setia.
Iklim demokrasi kita juga, sangat suka menghembus derasnya islam phobiya yang terus menakutkan bagi ummat. Sebagaimana mereka kerap menuding kelompok umat islam dengan berbagai stigmatisasi ; anti pancasila, anti NKRI, teroris, fundamentali, radikalis dll. Daftar kemuraman itu tanpa mengenal jeda, persekusi tindak kekerasan pada ulama, habaib, kiyai dan ustadz di tempat terbuka masih pula kita temui. Demokrasi seakan mengadu-domba sesama umat islam, memecah belah umat dalam berbagai faksi.
Demokrasi yang membiarkan sekelompok kecil menguasai wilayah strategis negeri ini. Menguasai tanah, kebun, pabrik, pulau, laut, perusahaan raksasa, estimasi sekitar 70 % aset ekonomi nasional dikuasai oleh 1 % penduduk. Demokrasi yang memeras keringat rakyat anak negeri menjadi miskin, terlantar dan terhinakan. Di sini kemiskinan tumbuh subur menjadi watak dan kultur anak negeri. Seolah negara hadir terus menciptakan kemiskinan bagi rakyat Indonesia.
Demokrasi yang hnya memberikan keluasan oligarki tumbuh subur, menguasai dan mengatur medan politik dan birokrasi di berbagai level instansi pemerintahan. Demokrasi yang hanya memberi akses kepada orang-orang yang punya modal untuk berkontestasi merebut kursi kekuasaan politik. Sebaliknya, menutup ruang politik bagi kalangan ilmuwan, kaum cerdika pandai, ahli hikmah untuk ikut berpatisipasi menafasi alam demokrasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di ujungnya, demokrasi hanya mencukupkan diri bekerja membungkam suara kritis parlemen. Memisahkan peran anggota parlemen yang sejatinya menjadi corong bagi rakyat, dan menjadikan anggota parlemen sebatas juru bicara partai yang tunduk pada kuasanya.
PEWARIS TERAH IDEOLOGIS PENDIRI BANGSA
Aktivis yang sedang bergerak di jalanan maupun mereka yang sedang mendekam dibalik terali, adalah pewaris terah ideologis para pejuang dan pendiri bangsa. Dasar pergerakan kaum aktivis berasas pada paradigma etik dan politik para pendiri bangsa. Merka aktivis, sesunggugnya meneladani moral, spirit, etos dan pandangan politik pendiri bangsa. Untuk itu, kurungan penjara hanyalah membikin mereka tambah bangkit dengan seribu cara perlawanan. Dan sesungguhnya, kegigihan mereka itu lebih mulia ketimbang bersekutu dengan penguasa yang zalim, anti terhadap demokasi
Berjuta-juta kuping yang mendengar dan mata yang melihat, aktivis kaum pergerakan bertarung merubah kiblat bernegara. Menggeser bandul kesebangsaan dan kebernegaraan kita untuk kembali kepada nilai luhur Pancasila dan UUD 1945. Jutaan warga bangsa mengharap sebuah perubahan yang pasti, bahwa kita sanggup menarik garis ke-Indonesiaan kita, menuju kiblat peradaban kebangsaan yang telah tergariskan oleh para pendiri bangsa, yakni INDONESIA MERDEKA DAN BERDAULAT.
Tugas peradaban mulia ini dinanti oleh jutaan anak bangsa untuk dapat hidup mulia dan bermartabat. Negara punya tugas konstitusional untuk memenuhi janji-janji dan cita-cita kemerdekaan. Bagaimana negara bisa hadir memberikan tempat pekerjaan, membuka lapangan usaha yang menjamin terciptanya kemakmuran melalui kemandirian ekonomi. Sektor swasta yang kuat dan mandiri, adalah menjadi simpul dan tonggak kebangkitan kebanggaan sebagai anak bangsa. Tetapi di sisi lain, perasaan kecemasan itu terus mendera menghinggapi kebanyakan anak anak usia kerja, karena kurang ketersediaan lapangan kerja dan rendahnya jaminan akan kemandirian usaha.
Memang terasa janggal bagi anak anak bangsa yang sedang berusia kerja, karena tidak tersedianya medan pengapdian yang memadai mereka. Sebaliknya pemerintah justeru memberikan kartu untuk antri mendapatkan sembako. Di sisi lain lapangan kerja dibuka lebar dan diisi untuk mewadahi tenaga kerja asing yang berasal dari negeri Tiongkok, meskipun pekerjaan itu tidak memerlukan keahlian seperti kuli bangunan. Tenaga kuli dari negeri komunis tersebut berikan kelusan kerja, sedangkan tenaga kerja dalam negeri cukup disantuni dengan setangkai kartu untuk bisa antri samboko. Sulit rasanya untuk menerima kepahitan derita ini, paradoks tentunya. Rakyat seakan menjadi tamu di negeri sendiri.
Tentu tapak perjalanan kita lewati semakin tidak mudah, mendaki, melembah, penuh duri dan rintangan. Kita memang berhadapan dengan sang pemimpin yang rapuh, namun dilingkari oleh suatu kekuasaan yang angkuh, pongah dan membabibuta, laksana benteng beton di hadapan wajah kita. Tapi sekuat apapun mereka berkuasa, sesungguhnya mereka bukan pemilik kekuasaan. Pada akhirnya, segemuk apapun kekuasaan itu, hanyalnya sementara. Kuasa-Nya lah yang abadi sang pemiliki semesta. Allah suabhanna’watallah.
KEKUASAAN MILIK ALLAH
Kekuasaan dan kemuliaan itu sejatinya milik Allah sajalah, kepada siapa yang Allah berikan menjadi hak Allah semata. Suatu saat Allah bisa mencabut kekuasaan dan kemuliaan itu dari siapapun bila Allah menghendaki. Kekuasaan yang curang, penuh manipulasi, janji palsu, proses pengambil keputusan yang tidak transparan, mengabaikan prinsip musyawarah mufakat, menghidupkan kembali sistem koroni, dinasti, dan oligharki, tidak berorientasi pada pelayanan rakyat sendiri, melainkan suku bangsa yang lain. Adalah tanda pengikhanatan dan penyimpangan kekuasaan. Lambat atau cepat kekuasaan mereka akan runtuh dengan sendirinya.
Dan kita sejawatku pejuang, baik yang sedang bergumul di jalanan, maupun yang sedang mendekam di balik jeruji besi, yakinlah kita adalah insan yang sedang teruji. Tugas kita bukan berhenti di persimpangan sejarah. Tetap tugas mewujudkan janji kemerdekaan yang belum tertunaikan. Sanggupkah kita menerima kekuasaan ? Pertanyaannya, sanggupkah kita mewujudkannya ?
Untuk itu tugas kita hanyalah melakukan ikhtiar dengan penuh konsisten dan sungguh-sungguh untuk ‘merebut’ setiap janji Allah bagi mereka yang melakukan ikhtiar, maka taqdir kemenangan yang akan diraih. Oleh karena itu, tugas kita bukan merebut kekuasaan, melainkan melakukan ikhtiar yang cukup dan memenuhi sarat untuk memperoleh kemenangan yang menjadi kuasa Allah. Kekuasaan Allah bukan untuk diperebutkan dan diperjual belikan dengan sehelai uang, melainkan diberikan kepada mereka yang pantas memikulnya. Yaitu orang-orang berilmu, berkarakter dan berintegritas sebagai pemimpin.
BERHENTI DI PERSIMPANGAN SEJARAH
Seorang activis pergerakan tidak dapat diidentifikasi sebagai pejuang sejati, bila narasi pergerakannya hanya sampai di PERSIMPANGAN SEJARAH. Dia gagal merahi ujung sejarah. INDONESIA BERDAULAH TANPA PENINDASAN itulah ujung sejarah.
Berhenti di persimpangan sejarah menandai aktivis pergerakan sudah lelah, gelap mata, tergiur dan tergoda oleh kepentingan jangka pendek. Tergoda oleh rayuan dan janji-janji kekuasaan politik. Janji sebagai menteri, komisaris, direksi, tenaga ahli, staff khusus, uang dll. Kerap kali activis terjebak pada janji dan harapan yang menggiurkan. Berhenti di PERSIMPANGAN SEJARAH adalah penyimpangan sejarah perubahan bagi kaum aktivis pergerakan.
Memang tidak mudah menyandang predikat sebagai aktivis pergerakan. Olehnya jangan pernah lelah untuk menengok masa lalu, dan jangan pernah rabun mengaca realitas hari ini, dan jangan pula buta menerawang impian hari esok. Semuanya butuh energi fitrah, energi otentik untuk merawat kejelian dan kecermatan sebagai manusia pejuang agar tidak terperosok apalagi tergilas oleh tawaran gemilau kekuasaan.
MEMOTONG MATA RANTAI KESENJANGAN.
Penyandang predikat aktivis pergerakan, adalah orang gelisah terhadap tumpukan persoalan yang melingkupi rakyat, bangsa dan negara. Dia yang resah ketika ketidak-adilan dan penindasan sosial ekonomi, pembodohan dan perbudakan sili berganti menimpa rakyat. Dia menyelidiki setiap faktor yang mendasari, kenapa benang kusut, benang basah yang menyelimuti kehidupan rakyat dari rezim ke rezim. Kenapa rezim berganti tetapi keadilan sosial dan keadilan ekonomi tidak hadir memakmurkan rakyat ? Adakah benang kusut dan benang basah yang sulit diurai ?
Oleh sebab itu, aktivis pergerakan terlibat melarut menggumuli, meresap sari pati kehidupan kaum tertindas. Ia tidak hanya merenung dan bertafakkur di menara gading yang jauh dari hiruk pikuk rakyat. Namun ia membangun suatu kesadaran dengan menciptakan jaringan sosial di akar rumput, menghidupkan narasi perubahan. Membangan sekolah peradaban, sekolah keadilan, pesantren kemanusiaan untuk memperkuat kesadaran dan konvidensi sosial rakyat. Lalu menghidupkan relasi budaya dan politik antara rakyat dan penguasa.
Karena penyakit akut pada penguasa negara tidak hanya berhenti merumuskan regulasi dan konstitusi untuk membentengi dirinya. Tetapi sesungguhnya penguasa juga berada pada radius yang jauh dari rakyat. Pembahasan dan Pengesahan UU Omnibush Law adalah suatu contoh yang terdekat dengan kita. Betapa penguasa negara nyata tidak peduli dengan narasi kewarasan, maupun beban batin rakyat. Karena itu tugas aktivis harus sanggup memutuskan mata rantai kesenjangan kekuasaan politik antara rakyat dan penguasa.
Tetapi anehnya para aktivis yang tersandera di persimpangan sejarah. Mereka justeru merekonstruksi diri menjadi alat kekuasaan, dan menggunakan bahasa kekuasaan menghadapi aksi-aksi rakyat.
PARADIGMA PROFETIK
Ada baiknya kita mengaca dan menginternalisir paradigma profetik perjuangan Nabi Muhammad saw. Kemenangan Muhammad membawa Islam sebagai agama dunia, bukanlah ada segenggam kekuasaan di tangannya. Bukan pula ia berkompromi dengan gemilau tahta kekuasaan, harta dan wanita, melainkan ia tunduk pada DOKTRIN KEBENARAN dengan cinta kasih, kesahajaan dan istiqomah.
Muhammad berkomitment kuat menyelamatkan martabat rakyat dari berbagai penindasan kultur struktur, meski dihujat, diludahi, dimiskinkan, diblockade, diancam pembunuhan. Muhammad membawa risalah tauhid yang berisi pembebasan dari perbudakan manusia dengan mengirimmkan keesaan Tuhan dan kerasulan Muhammad. Hanya dengan syahadat manusia menjadi setara, merdeka, terbebaskan dari belenggu perbudakan. Muhammad menghantarkan manusia mencapai puncak peradaban dan keadaban kemanusiaan dengan iman. Bahwa manusia profetik selalu eksis menjadi bintang pencipta sejarah, itulah akhlaq atau karya besar yang dihambakan sebagai ibadah kepada Tuhan.
Salah satu akhlaq rosulullah nabiyullah Muhammad adalah tegaknya keadilan. Keadilan merupakan prinsip dasar kemanusiaan yang diperjuangkan oleh setiap manusia hidup. Keadilan ideal tidak pernah ada tanpa iman kepada Allah, dan spritis kerasulan yang tumbuh pada diri manusia. Dengan iman itulah, manusia saling berbagi karena memahami ada hak orang lain di luar dirinya. Dengan iman itulah pemimpin bertindak bijak dan adil kepada siapapun tanpa memandang warna kulit dan suku bangsa. Dengan iman itulah seorang hakim menjatuhkan putusan seadil-adilnya meski kepada seorang presiden sekalipun.
Namun sering kali kita aktivis dihinggapi oleh sebuah mimpi besar, menjadi orang besar, tetapi sayang sering kali pula kita ikuti dengan fikiran kerdil dan langkah yang cacat, walhasil menjadi absurd. Manusia jatuh tersungkur tanpa nilai kemanusiaan. Allah pemilik kehidupan mengembalikan insan activis pada derejat yang paling hina. Tsumma rodadnahu fie ashfala shafilien.
Ciputat 20 November 2020
MHR. Shikka Songge