Sumbarmadani.com-Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTSI) terus melanjutkan kasus Aturan Ujian Kompetensi Kesehatan yang dirasa tidak adil. Aturan ini adalah aturan baru yang dibentuk oleh Kemendikbud bagi mahasiswa kesehatan (kecuali mahasiswa kedokteran) tentang persyaratan uji kompetensi sebelum menamatkan kuliah. Terdapat sebanyak 3.500 kampus yang tergabung dalam APTSI dan merasa dirugikan dengan adanya aturan baru dari Kemendikbud ini.
Guntur Abdurrahman selaku salah seorang kuasa hukum APTSI menyatakan bahwa ia dan timnya sudah menempuh beberapa upaya dalam penanganan kasus ini. Upaya ini berupa upaya administratif seperti permintaan kepada menteri untuk mencabut surat keputusan tentang pembentukan Komite Penyelenggara Ujian Kompetensi. Upaya lain yang juga mereka lakukan adalah menyambangi DPR untuk melakukan fungsi pengawasan supaya memerintahkan Mendagri untuk mematuhi undang-undang yang mengamanatkan bahwa ujian kompetensi adalah kewenangan dari perguruan tinggi.
“Kemarin yang datang di DPR dalam rangka rapat dengar pendapat itu hanya pemilik, pengelola dan pengurus perguruan tinggi. Nah, kalau seandainya tidak direspons, bisa saja yang akan datang lebih besar lagi dan melibatkan mahasiswa. Mahasiswa jutaan loh jumlahnya. Ada 3 jutaan. Ini yang merasa dirugikan. Bisa saja nanti mereka akan melakukan aksi untuk mendesak ini. Kita harap DPR sebagai penyambung lidah masyarakat, ada fungsi pengawasan di situ agar mengawasi kementrian dalam negri tidak menjalankan perintah undang-undang dan berdampak kepada ketidakadilan mahasiswa,” ujarnya.
Selain langkah politis dan advokasi, dikatakan Guntur Abdurrahman APTSI dan mahasiswa akan mengambil langkah hukum lain berupa pengajuan judicial review atau uji materi peraturan menteri yang menjadi landasan berlakunya pelaksanaan uji kompetensi ini. Hal tersebut akan diuji di Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, mereka akan segera mendaftarkan gugatannya.
Lebih lanjut, Guntur Abdurrahman mengatakan bahwa peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang uji kompetensi menyebabkan perubahan drastik dan menimbulkan banyak masalah. Hal ini juga melanggar undang-undang dan berakibat pada kerugian bagi kampus, perguruan tinggi dan mahasiswa. Masalah pertama adalah mahasiswa kesehatan (kecuali mahasiswa kedokteran) sangat dirugikan karena mereka tidak bisa mengikuti wisuda meskipun sudah menyelesaikan seluruh studi dan kompre hanya karena tidak lulus ujian kompetensi dan mereka juga terancam Drop Out (DO).
Guntur Abdurrahman juga mengungkapkan bahwa masalah lain yang juga ditimbulkan dari pembentukan komite ini adalah ujian yang dilaksanakan komite tidak sesuai dengan kebutuhan dan standar kompetensi. Hal ini bisa dilihat dari hilangnya aspek ujian praktek dan penilaian prilaku. Semua hanya dinilai berdasarkan kemampuan menjawab soal ujian dengan pilihan ganda yang dilakukan selama dua jam.
“Belum lagi masalah aksesabilitas. Mahasiswa-mahasiswa yang letaknya di Indonesia Timur. Nah, karena ujian ini berbasis computer by system, jadi ujian CBT, maka tentu tempat penyelenggaraan ujian itu sangat terbatas. Jadi, mahasiswa-mahasiswa yang aksesnya jauh itu akan sulit ujian, seperti katakanlah di Papua. Di Papua tidak ada akses untuk menyelenggarakan ujian dengan sistem itu tadi. Maka mereka harus terbang ke Makassar. Itu Sangat Menyulitkan. Bahkan, yang lebih parah lagi, mahasiswa yang gagal ujian, misalnya mereka dinyatakan tidak lulus atau tidak kompeten, mereka tidak tahu pada bagian mana mereka gagal. Jadi, ketika ingin belajar dan mengulang ujian kembali, mereka tidak tahu bagian mana yang harus mereka perbaiki,” paparnya.
Dikatakan Guntur Abdurrahman hal ini mengakibatkan terjadinya penumpukan pengangguran karena mahasiswa yang sudah menyelesaikan studi tidak bisa menamatkan kuliah dan akhirnya DO. Menurutnya, ada beberapa dari mahasiswa tersebut yang menginginkan setelah tamat kuliah melanjutkan studi ke beberapa bidang yang tidak memerlukan ujian kompetensi misalnya seperti dosen. Namun, hal tersebut tak bisa dilakukan karena gagal pada ujian kompetensi.
“Sejauh ini sudah lebih dari 320.000 mahasiswa yang menjadi korban akibat pelaksanaan uji kompetensi yang dinilai tidak adil dan bertentangan dengan undang-undang ini. Seluruhnya merasa sangat dirugikan,” tuturnya.
Guntur Abdurrahman berharap agar menteri dapat mendengar aspirasi dari berbagai kalangan. Baik dari sisi mahasiswa, dari sisi tenaga kesehatan, rumah sakit-rumah sakit yang akan menggunakan maupun para pakar. Menurutnya, hasil kajian para pakar mengungkapkan bahwa ujian kompetensi ini tidak mampu memenuhi substansi dari ujian kompetensi tersebut.
“Dan juga harus dipahami bahwa anggota APTSI itu adalah profesor dan doktor. Rata-rata dari mereka adalah pakar dari dunia kesehatan. Dengarkan aspirasi dan kajian mereka itu. Nah, hasil kajiannya menyatakan pelaksanaan ujian kompetensi ini sangat tidak benar, sangat tidak mendasar, melanggar hukum, dan tidak mampu mencapai tujuan dari uji kompetensi itu sendiri,” paparnya. (MH)